Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Telah diBangun Coffe Budaya di Taman Budaya Suci Bulusari



Pasuruan Pojok Kiri
Setiap bangunan mencerminkan integrasi budaya dan lingkungannya dan memiliki ekologis budaya yang spesifik, arsitektur dan karakteristik tertentu. Seperti halnya dengan bangunan Taman Budaya Suci yang ada di desa Bulusari kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. 

Sub BUMDes Taman Budaya Suci ini kini melakukan pengembangan dengan membangun Coffe Budaya Suci. Kades Bulusari, Siti Nurhayati berharap sejalan dengan makin ramainya perputaran ekonomi di Lingkungan Taman Budaya Suci diharapkan mampu membiayai perawatan taman budaya suci secara mandiri.
"Kita butuh anggaran yang berkelanjutan untuk perawatan Taman Budaya Suci, untuk itu kita membangun Coffe Budaya Suci, "ucap kades Bulusari melalui Sekdesnya, saat ditemui awak media Pojok Kiri, Jum'at (2/5/2025) di ruang kerjanya balaidesa Bulusari.

Tidak hanya itu dalam pengembangannya nanti, coffe Budaya Suci diharapkan bisa jadi pusat diskusi budaya secara khusus, dan secara umum bersama dengan pasar desa, lapangan desa, dan taman budaya suci bisa menjadi sentra kegiatan Desa Bulusari. Bahkan di tempat tersebut juga dilengkapi dengan perpustakaan budaya. 

"Di tempat ini akan kita jadikan central Kampung Budaya Suci, sesuai dengan catatan kuno yang ada di Prasasti Cunggrang, "Tambahnya. 

Pembangunan Taman Budaya suci dan pengembangan Coffe Budaya Suci tidak lepas dari sejarah. Dikisahkan bahwa luas wilayah Wanua Cunggrang/Bulusari dulunya sampai desa Wonosunyo (nama desa ). Sehingga sangat tepat kalau desa Bulusari adalah cikal bakal kebudayaan di kabupaten Pasuruan, atau desa Budaya Suci.

Kalau di telisik lebih jauh keberadaan Wanua Cunggrang yang berada di lereng gunung Pawitra/ Penanggungan. Gunung tersebut merupakan gunung merapi Purba, dengan berbagai keindahan gunung Pawitra serta arsitektur candi-candi kuno yang bikin takjub, namun budaya dan lingkungan yang saling berinteraksi dalam pembangunannya. 

Penanggungan memiliki puncak gunung yang posisinya simetris dengan arah mata angin, diantaranya bukit gajah Mungkur, bukit bekel, bukit serah kelopo, dan bukit kemuncup yang terletak di kabupaten Pasuruan. 

Empat puncak gunung ini menurut kasustraan kuno merupakan cerminan dari sebuah gunung suci yakni sang yang Mahameru yang menjadi tempat bersemayamnya para dewa. 

Pada abad X hingga XI Masehi terdapat 3 sima penting atau daerah perdikan yang di tetapkan di lereng gunung penanggungan yaitu Tulangan, Cunggrang, dan Pucangan. Ketiga sima ini memiliki sejarah panjang dari kerajaan Mataram Hindu hingga era Airlangga.

Sima Tulangan di tetapkan oleh raja balitung pada tahun 910 Masehi, lokasinya berada di sebelah Utara gunung, yang kini bernama desa waton mas Jedong. 

Sedangkan sima Cunggrang ditetapkan oleh Mpu Sindok pada tahun 929 Masehi karena penduduknya telah memelihara tempat-tempat suci di gunung Pawitra, lokasinya di timur gunung yang sekarang menjadi dusun Suci.
Petirtaan belahan yang berada di wilayah Wanua Cunggrang berperan penting dalam beraktifitas keagamaan. 

Smentara sima Pucangan ditetapkan oleh raja Airlangga sekitar tahun 1037 hingga 1042 untuk memenuhi nazarnya setelah mengalahkan musuh musuhnya saat itu. Lokasinya diperkirakan berada di barat gunung Pawitra, desa seloliman, petirtaan jalatundo yang saat ini sebagai aktifitas spiritual masyarakat. 

Penetapan ketiga sima ini terkait erat dengan keberadaan tempat-tempat suci di gunung Pawitra. 

Prasada atau kita sebut candi, patirtan atau kita sebut pemandian suci memiliki peran penting dalam memupuk aktifitas spiritual dan sosial masyarakat Jawa kuno, baik penduduk biasa maupun para resi. 

Keberadaan sima-sima ini menunjukkan pentingnya gunung Pawitra sebagai gunung suci bagi masyarakat kuno dari masa kemasa. 

Cunggrang merupakan batu yang memiliki catatan penting dari masa lalu. Prasasti ini tidak hanya menuliskan peristiwa peristiwa sejarah tetapi mencerminkan hubungan masyarakat kuno dengan lingkungan mereka, masyarakat kuno dengan budayanya. 

Letaknya yang setrategis di kaki gunung Pawitra menunjukkan bagaimana masyarakat Wanua Cunggrang/ Bulusari pada masa itu memanfaatkan Lanskap, bentang alam di sekitar mereka untuk dokumentasi budaya. 

Prasasti ini memiliki tautan wawasan tentang bagaimana geografi dan ekologis membentuk cara masyarakat Bulusari menyimpan dan menyebarkan informasi pada masa itu. 

Dari prasasti Cunggrang kita menuju gapura Lanang gapuro wedok. Gerbang-gerbang ini merupakan representasi dari dualitas dari budaya Wanua Cunggrang/Bulusasri yang mengisahkan dunia profan dari dunia suci. 

Lokasi dan desain gerbang ini memperlihatkan bagaimana arsitektur tradisional menyatu dengan kontur tanah dan vegetasi di sekitar gunung. 

Gapura ini menunjukkan adaptasi arsitektur terhadap lingkungan dan simbolis budaya yang mengaitkan manusia dengan alam. Sedangkan petirtaan belahan yang melengkapi struktur arsitektur yang dekat dengan alam. 

Tempat ini menggambarkan bagaimana masyarakat kuno menyeimbangkan desain bangunan dengan kondisi lingkungan, menciptakan harmoni antara struktur dan Lanskap. 

Sebuah pemandian kuno yang memiliki makna mendalam dalam praktek keagamaan masyarakat kuno, meskipun sering disebut sebagai struktur, namun petirtaan belahan berfungsi sebagai pemandian suci, simbul dari pembersihan spiritual dan penyucian. Relief-relief di petirtaan ini menggambarkan pandangan budaya tentang hubungan manusia dan alam, serta fungsi ritual yang dilakukan disini pada massa itu. 

Selanjutnya ada juga peninggalan berupa Lumpang, alat untuk menumbuk padi atau bahan makanan lainnya. Bentuk ini mencerminkan fungsi ritual atau simbulis yang berkaitan dengan kehidupan sehari hari masyarakat kuno Bulusari. Termasuk hubungan mereka dengan hasil bumi dan pertanian. 

Lumpang merupakan desain arsitektur yang dipadukan dengan kehidupan sehari-hari yang sederhana namun bermakna. Struktur ini berkaitan dengan ritual yang berkaitan dengan pertanian atau pembersihan spiritual. Bentuk lumpang bisa melambangkan kesuburan, pertumbuhan atau siklus kehidupan. 

Hingga saat ini budaya-budaya ini masih ada dan tumbuh sampai sekarang. Karakter masyarakatnya yang suci, suka uri-uri tempat ibadah, senang merawat dan mempertahankan budaya nenek moyang, maka di desa Bulusasri sampai saat ini ada budaya tari Solla Cunggrang, Batik Prameswari, dan Pande Besi. (Syafii/Yus).