Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Sejarah dan Fenomena Alam Perayaan Imlek



Pasuruan, Pojok Kiri
Perayaan Imlek dikenal sebagai hari raya bagi masyarakat Tionghoa. Di Indonesia, sejak 2003, hari raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Dalam tulisan sejarah Masyarakat etnis Tionghoa kala itu sangat memegang tradisi bahwa di manapun mereka berada, ajaran Konghucu dan perayaan imlek harus tetap lestari.

Sebenarnya arti atau makna dari Konghucu yang menjadi salah satu agama di Indonesia? Konghucu pada awalnya merupakan nama dari seorang filsuf yang mengajarkan ilmu filsafat bernama ‘konfusius’.

Kemudian, Konghucu ditetapkan sebagai sebuah agama yang memang tidak ada di negara lainnya. Hal itu karena pada dasarnya Konghucu merupakan ajaran mengenai moralitas dan pemerintahan masyarakat tradisional Tiongkok.
Sementara itu, tradisi perayaan Imlek sudah ada sejak pemerintahan presiden Soekarno. Pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama Nomor 2/OEM-1946. Pada Pasal 4 peraturan itu menyebut tahun baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng (membersihkan makam leluhur), dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek), sebagai hari libur. Kala itu, perayaan Imlek pada masa Presiden Soekarno dilakukan secara terbuka.

Namun, setelah jatuhnya masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masuk masa Orde Baru, Warga Tionghoa tak bisa mementaskan seluruh kebudayaannya di muka umum. Larangan ini tak lepas dari sengkarut politik di Tanah Air, setelah peristiwa G30S. Orde Baru khawatir keturunan Tionghoa akan menyebarkan paham komunis di Indonesia. Memang, pada masa Sukarno, Indonesia berkawan karib dengan China, sementara pada masa Orde Baru hubungan itu diputus.

Pada tahun 1966, Ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay memilih istilah China daripada Tionghoa. Sindhunata juga mengusulkan pelarangan total terhadap perayaan kebudayaan Tionghoa.

Namun, Soeharto kala itu menilai usulan Sindhunata itu berlebihan. Soeharto tetap mengizinkan perayaan kebudayaan Tionghoa, namun secara tertutup. Aturan itu kemudian diresmikan dengan Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Hampir 33 tahun warga Tionghoa tak bisa merayakan kebudayaannya di depan umum. Angin segar kemudian datang setelah reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Sejak itulah kebudayaan Tionghoa kembali menggeliat. Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. 

Perjalanan sejarah ini sama menariknya dengan fenomena alam saat perayaan Tahun Baru Imlek. Sering kali diiringi hujan di berbagai wilayah Indonesia. Fenomena ini menjadi bahan pembicaraan masyarakat, yang penasaran mengapa hujan hampir selalu turun saat Imlek, bahkan Jurnalis Pojok Kiri merangkai tulisan ini, Minggu (27/1/2025) suasana alam mulai pagi sampai malam di iringi hujan.

Ternyata di kepercayaan masyarakat Tionghoa juga memberikan makna simbolis yang memperkaya makna di balik fenomena ini secara ilmiah.

Bagi masyarakat Tionghoa, fenomena hujan saat Imlek memiliki makna yang lebih mendalam. Hujan dianggap sebagai simbol keberuntungan, kemakmuran, dan rezeki yang akan datang di tahun yang baru.

Kepercayaan ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Imlek.

Bagi mereka, hujan bukanlah suatu hal yang menghalangi perayaan, melainkan merupakan tanda berkah yang menyertai perayaan Tahun Baru.

Dalam pandangan masyarakat Tionghoa, hujan adalah pertanda bahwa tahun baru akan membawa banyak kebahagiaan dan kesuksesan.

Fenomena hujan saat Imlek ini menunjukkan keterkaitan antara fenomena alam yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan makna simbolis yang dipercayai oleh masyarakat.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hujan yang sering terjadi saat Imlek berkaitan dengan pola cuaca Indonesia pada awal tahun.

Umumnya, periode Desember hingga Februari adalah puncak musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.

Imlek, yang jatuh antara Januari dan Februari, selalu bersinggungan dengan masa puncak musim hujan. Oleh karena itu, banyak perayaan Imlek yang diiringi dengan hujan.

Salah satu faktor utama yang memengaruhi fenomena ini adalah angin Monsun Asia. Pada periode tersebut, angin Monsun Asia membawa udara lembap dari Benua Asia dan Samudera Pasifik menuju Indonesia.

Hujan dengan pola cuaca musiman dan angin Monsun Asia, masyarakat Tionghoa melihat hujan sebagai simbol positif, penuh harapan dan keberuntungan.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan dan tradisi dapat berjalan seiring, memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana kita memaknai peristiwa alam yang terjadi di sekitar kita.

Udara basah ini menyebabkan hujan lebat di berbagai daerah, termasuk kota-kota besar dengan banyak komunitas Tionghoa.

Perayaan Tahun Baru Imlek 2025 yang jatuh pada 29 Januari akan menjadi penanda dimulainya Tahun Ular Kayu sebagaimana tercantum dalam kalender Tionghoa.(Syafi'i/Yus)