Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Warga Pandean Kejapanan Nguri-Uri Tradisi Unjung - Unjung Yang Hampir Hilang



Pasuruan, Pojok Kiri
Idul Fitri merupakan momentum suci nan agung. Umat Islam di seluruh penjuru Tanah Air tentunya memiliki cara tersendiri untuk menyambut datangnya hari kemenangan tersebut. Masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali pelaksanaan Lebaran, yaitu Idul Fitri dan Lebaran ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, dan Lebaran ketupat.

Dalam sejarahnya, Lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari itu, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat.

Warga Dusun Pandean RT. 04 yang prakarsai oleh ketua RTnya Warsito Heri Suyanto, desa Kejapanan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan melakukan kegiatan Nguri-Uri tradisi Unjung - unjung, Rabu (07/05/2022) dalam rangka menjaga warisan leluhur Jawa yang dikemas dalam tata cara, nilai-nilai perayaan hari raya Idul Fitri.

Kegembiraan Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah ini menjadi momentum yang terasa banyak dinanti. Apalagi, dua tahun aktivitas dan mobilitas menjadi terbatas dampak pandemi Covid-19. Kini, kondisi relatif sudah terkendali. Tak ayal, denyut menyambut Lebaran, merajut tali silaturahmi seolah menggelak di mana-mana.

Hal itu juga dirasakan Warsito Heri Suyanto selaku Ketua RT.04 RW. 14 dusun Pandean. Dia menangkap kegembiraan tersebut.

"Tradisi Unjung-unjung secara serempak sekampung selama ini mulai pudar, untuk itu melalui jagongan warga kami dihari raya ini akan melakukan Uri-uri tradisi unjung-unjung untuk melakukan Halal bi halal. "Ucap Warsito Heri Suyanto.

Unjung dalam Bahasa Jawa memiliki arti mengunjungi orangtua, keluarga, kerabat, tetangga dan orang-orang yang dihormati lainnya.

Sehabis sholat Maqrib, Warsito Heri Suyanto berangkat kerumah warga tetangganya, untuk melakukan Unjung dari rumah satu kerumah yang lain dengan mengajak bersama-sama RT 04 merata semua rumah warga.

Mereka saling bersalaman, meminta maaf dan memohon doa kebaikan. Tidak jarang rasa haru warga yang di unjung.

"Momentum kayak begini sangat baik dan perlu di lestarikan, supaya generasi kita kedepan juga mengikutinya. "Ujar Pak RW.14 Miskan.


Tokoh agama setempat , Ahmadi menuturkan bahwa tradisi unjung-unjung adalah peninggalan nenek moyang yang perlu di laksanakan dan dilestarikan terus , "Tradisi ini harus terus dilakukan, jangan sampai hilang karena ini cermin kerukunan, menandakan kita selalu bersatu, rukun dan taat kepada Allah," ucapnya.

Tradisi ini menunjukkan betapa warga RT. 04 RW 14 Dusun Pandean dan lainnya masih menjunjung tinggi kebersamaan dan kerukunan.

Perlu adanya Uri-Uri tradisi para leluhur, karena kesemuanya penuh makna dan filosofi. Menurut Warsito Heri Suyanto yang akrab di panggil Pak RT. Menuturkan bahwa "Apa yang di lakukan leluhur kita itu penuh dengan makna, salah satu contoh penggunaan istilah ketupat dalam Lebaran ketupat tentu bukan tanpa filosofi yang mendasarinya, Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu “ngaku lepat” (Mengakui Kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). Prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami arti pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta senantiasa mengharap ridho dan bimbinganya. Ini merupakan sebuah bukti cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya begitupun orang tua kepada anaknya.

Lebih lanjut Pak RT juga menambahkan bahwa, "Prosesi ngaku lepat pun tidak hanya berkutat pada tradisi sungkeman seorang anak kepada orang tua, lebih jauh lagi adalah memohon maaf kepada tetangga, kerabat dekat maupun jauh hingga masyarakat muslim lainya, dengan begitu umat Islam dituntun untuk  mau mengakui kesalahan dan saling memaafkan dengan penuh keikhlasan yang disimbolkan dengan ketupat tersebut. Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, tetangganya,  nantinya mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya, apabila ketupat tersebut dimakan secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah dan khilaf antar keduanya terhapus.

Begitu juga tradisi halal Bihalal sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I yang bernama kecil Raden Mas Said atau lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.

Namun, istilah Halal Bihalal saat itu dikenal dengan istilah sungkeman.

Para prajurit sekaligus masyarakat melakukan sungkem dengan keluarga Mangkunegara sekaligus bermaafan satu sama lain.

Tercetusnya Halal Bihalal tidak lepas dari situasi politik yang berkecamuk pada masa Ir Sukarno memimpin, tepatnya pada 1948 ketika Indonesia mengalami disintegrasi bangsa.

Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum.


Bertepatan dengan bulan Ramadan, Bung Karno memanggil KH Wahab Hasbullah ke Istana Negara untuk dimintai saran terkait situasi dan kondisi politik yang berkecamuk.

KH Wahab pun memenuhi panggilan Bung Karno untuk membahas kondisi republik yang baru berumur 3 tahun.

Kemudian kedua tokoh tersebut mengeksekusi pemikiran itu di ranah masing-masing.

Hari Raya Idul Fitri sering dibarengi dengan halal bihalal. Hari Raya Idul Fitri sering dibarengi dengan halal bihalal.

Ir Sukarno berpikir di jajaran masyarakat atas dalam hal ini para elite politik.

Sedangkan KH Wahab Hasbullah pada masyarakat bawah dan kalangan pesantren yang memang menjadi basis para Kyai NU.

Maka kemudian KH Wahab Hasbullah, kiai yang juga pencipta Mars Syubbanul Wathan ini menuturkan, “Sebentar lagi kan Idul Fitri, adakan pertemuan saja acara silaturahmi.”

Menanggapi ide tersebut, Bung Karno pun langsung menjawab saran Kiai Wahab, “Silaturahmi itu kan biasa. Saya pengen istilah lain.”

Tanpa basa-basi Kiai Wahab dengan entengnya menjawab. “Itu masalah gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halal bihalal,” tegas Kiai Wahab.

Atas saran Kiai Wahab, Bung Karno mengundang para elit politik ke Istana Negara untuk halal Bihalal.

Sejak itu pula para elit politik bisa duduk bersama saling memaafkan dan membahas bangsa ini secara bersama-sama.(Fii)