Pasuruan Pojok Kiri
5 tahun Usai diresmikannya Proyek Maharaja Airlangga lengser Keprabon tahun 1042. Airlangga mekadaton di Kahuripan dengan nama Abhiseka, Maharaja Rake Hulu Cri Lokerwara Dharmawanca Airlangganamaprasadottunggadewa.
Kahuripan berasal dari akar kata "hurip" (urip) yang
artinya hidup, tidak (pernah) mati. Mendapat awalan Ka
dan akhiran an, menjadi Kahuripan yang berarti Kehidupan. Artinya membangun suatu kehidupan, membangun kerajaan,
membangun negara, membangun sebuah bangsa, membangun peradaban.
Memang harus kita akui, paska Pralaya Agung tenggelamnya peradapan kita pada masa itu, salah satunya hal yang menonjol, Airlanggalah yang berhasil memulai, menanamkan dasar-dasar/prinsip-prinsip peradapan yang oleh sebagian Budayawan disebut budaya (Peradapan)-Panji, yang
diekspresikan dalam bentuk seni (kesenian), yang oleh sebagian besar Budayawan dinyatakan sebagai budaya asli Jawa dan belum pernah terkontaminasi unsur-unsur budaya dari luar.
Budaya Panji jelas ada kaitan serta benang merahnya dengan Budaya Borubudur - Prambanan. Ada dua monumen penting yang dibangun pada masa
Medang - Kahuripan, yakni, Dua Monumen Jetayu (Resi
Jetayu)/Garuda Yaksa / Garuda Mumuka / Garudeya, yang dibuat duplikatnya di Pulau Bali dengan tema GARUDA WISNU KENCANA (Airlangga difigurkan Maha Guru (Bahtera Guru), menaiki burung Garuda).
Monumen Pertama dibuat pada masa Dharmawangsa /
Udayana + Mahendradata ( Ayah dan Ibu Airlangga ) - untuk menyambut kelahiran Airlangga. Melambangkan," akan hadir l seorang Maha Guru turun dari langit dengan naik Garuda, 1 untuk mengajarkan Peradapan".
Monumen Kedua dibuat pada masa Airlangga lengser ke
prabon dan wafat, melambangkan " Sang Batara Guru kembali naik ke langit, setelah selesai mengajarkan peradapan (ajaran tentang hidup dan kehidupan) dengan menaiki burung garuda.
Monumen yang berbentuk SIMBOL atau LAMBANG itu,
Salah satunya ditempatkan di Partirtan JOLOTUNDO di
Dusun Biting Desa Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten
Mojokerto, dan satu lagi ditempatkan di Patirtan BELAHAN di desa Wonosari/ Wonosoyo Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. Jolotundo di Lereng barat Gunung Penangggungan
sedangkan Candi Belahan di Lereng timur Gunung
Penanggungan. Selain itu monument ini juga digunakan
sebagai simbol Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Sekarang kedua monumen itu disimpan, di museum Trowulan dan museum Jakarta. Yang memprihatinkan monumen Airlangga dimuseum Jakarta dinyatakan hilang dicuri pada
tahun 2013.
Ia memimpin sebagai Maharaja dan berkedudukan di kota Kahuripan dari tahun 1037 sampai dengan 1042 Masehi, yang notabennya hanya 5 tahun dari masa bakti Airlangga selama 33 tahun.
Menjelang lengser Keprabon, Air Langga meminta saran pada penasehatnya (Mpu Bharada/ Arya Bharada) untuk merancang pembelahan kerajaan Kahuripan. Sebagaimana diceritakan dalam Serat Calon Arang -
" Jawabhumi Apalih "Panjalu
Janggala". Airlangga ingin berlaku adil pada putra-putranya.
Dalam serat babad diceritakan bahwa Airlangga memiliki
dua orang istri. Istri pertama Dewi Galuh, putri dari Raja
Dharmawangsa Teguh yang berarti saudara sepupunya sendiri dan istri kedua adalah putri dari Lurah Cane.
Tentang putra-putra Airlangga, tidak ada prasasti yang
memberitakan, mungkin belum diketemukan. Namun dalam
berita-berita Panji, Karya Sastra/ Puja sastra dalam bentuk kidung, sebagai berikut:
- Wonten Cerita Winarni Rojo Pandita Jenggolo, Wonten Cerita Winarni, Rojo Pandita Jenggala Resi Gentayu Juluke (parabe), Pan Gagungan Putra Gansal, Kelangkung Endah Utomo, Kilisuci Kang Pembayun, Ngesti Gusti Rasa Tunggal, Lembu Milihulur Kang Rayi, Jejuluk Dewa Kusumo,
Amijaya Kang Pemade,
Mengarang Kang Catur Ika,
Amerdadu Ragil Ira, Putra Endah Angekuweng,
Sedoyo Ambek Utomo.
Selanjutnya diceritakan, bahwa putra pertama berjenis kelamin
wanita serta tidak berkenan menjadi raja menggantikan
ayahnya. Maka Mpu Bharadah (seorang Brahmana Agung,
Pujangga, yang menjadi Penasehat Agung dalam Sapta Prabu) orang besar pada jamannya, membentuk sebuah badan dan memimpinnya sendiri, dan mulai bekerja.
Di dalam membagi kerajaan, Mpu Bharadah memakai metode "MEMANCUNGKAN AIR DALAM KENDI DI UDARA"
yang artinya Kerajaan Kahuripan yang wilayahnya meliputi seluruh pulau Jawa, dan berpusat di wilayah Timur, dibangun selama 113 tahun, mulai jaman pemerintahan Medang Mpu Sendok tahun 851 saka (929 Masehi) sampai dengan akhir masa pemerintahan Airlangga tahun 1042 M. Adalah sebuah
Kerajaan besar yang didalamnya sudah banyak bermunculan gedung-gedung, sarana umum, pusat-pusat perdagangan, perbelanjaan, pusat-pusat industri, pusat pendidikan. Yang berarti juga telah banyak tumbuh pedesaan dan kota-kota yang
ramai.
Oleh sebab itu hal yang paling sulit adalah membagi central pemukiman di wilayah timur Pulau Jawa. Antara pantai
selat Madura sampai batas Jawa timur / Jawa tengah sekarang, wilayah itu juga mesti dibelah.
Seperti halnya membagi Negara Jerman menjadi dua paska Perang Dunia kedua. Membelah negara Jerman menjadi dua adalah hal yang mudah, tetapi bagaimana membelah kota
Berlin? "Jawabhumi apalih" pengertian apalih disini tidak
selalu harus dibagi dua. Apalih, mempunyai pengertian dasar
"membagi". Bisa menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya.
Metode Mpu Bharada (Air Kendi dengan lubang kecil di
kuyurkan dari udara) mempunyai arti pembagian yang melewati bukit-bukit dan gunung-gunung, jurang dan sungai, hutan dengan pohon-pohon besarnya, gedung-gedung dan
industri, hal ini tidak sama dengan membuat garis dalam
peta di kertas. Dengan cara mengucurkan air lewat lubang
kendi yang kecil dari udara itulah baru dirasakan adil. Hal
itu dilakukan oleh Mpu Bharada, (kita sekarang tidak paham bagaimana teknisnya).
Diceritakan pula dalam karya sastra dari sumber yang bersifat mitos, bahwa pada saat Mpu Bharada melakukan pekerjaan pembagian "terbang dengan mengucurkan air kendi dari udara, karena terbang terlalu rendah, jubahnya tersangkut dahan pohon dst....". Disini dapat dimaknai bahwa Mpu Bharada sudah berusaha keras untuk berbuat seadil mungkin dalam pembagian, namun tetap saja sebagai manusia ia tidak mampu.
Masih ada banyak pihak yang merasa tidak puas. Ketidakpuasan berujung pada ketegangan, namun pada akhirnya hal tersebut bisa diselesaikan lewat pendekatan
kekeluargaan, yakni lewat jalan pernikahan. BERSAMBUNG. (Syafi'i/yus)