Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Wartawan Odong-Odong Resahkan Kades-Kades Wilayah Gempol



Pasuruan, Pojok Kiri
Dulu sebelum era reformasi, sebelum penerbitan pers booming seperti sekarang ini, wartawan bodreks itu identik dengan wartawan gadungan. Sekarang, sejak akhir 1990-an, ada fenomena baru, di mana banyak orang begitu gampang melamar menjadi wartawan. Mereka melamar pada sebuah penerbitan pers yang juga boleh dibilang penerbitan bodreks. Jadi, yang membedakan, hanyalah dalam soal identitas.

Selain disebut bodreks, makhluk seperti ini kerap juga disebut wartawan oteng-oteng, odong-odong, abal-abal, WTS (wartawan tanpa surat kabar), dan muntaber (muncul tanpa berita).

Tindak tanduk mereka memang menyerupai atau meniru cara kerja wartawan. Yang membedakan, wartawan yang sesungguhnya bekerja untuk mencari, mengumpulkan, dan menulis berita. Sementara yang dilakukan wartawan bodreks adalah mencari dan mengumpulkan amplop, tentu saja beserta isinya.

Perilaku ini akhir-akhir ini, apalagi mendekati hari raya Idul Fitri, Beberapa kepala desa di wilayah Kecamatan Gempol sampai resah, ogah-ogahan ngantor, gara-gara banyak wartawan odong-odong dari luar daerah berdatangan.

Modus yang dilakukan oleh ‘wartawan odong-odong’ tersebut beraksi dengan cara bergerombol mendatangi kantor kepala desa alasan ingin ketemu kepala desa. Setelah dapat saweran mereka pamit pergi mencari mangsa lain.

"Saya ngak kenal dengan mereka itu, ngakunya wartawan dari kabupaten sebelah, bahkan ada yang ngaku dari Surabaya, satu mobil, isinya kadang 5, terkadang sampai 7 orang, tiap kali taktanya alasannya mampir, perjalanan ke Malang, "Ungkap ketua AKD Gempol, Jemik Sadiman, pad awak media, Rabo (3/4/2024).

Datang bergerombol, duduk-duduk. Tidak akan pergi pergi, sampai berjam-jam sebelum dapat saweran, "iya kalau kepala desa ini punya uang, kalau tidak, yaa risih, akhirnya kepala desa ngak kerasan di kantor. Kalaupun pakek dana DD, SPJnya harus jelas, "Terangnya.

Habibi, Wartawan senior Kabupaten Pasuruan, di temui Awak media Pojok Kiri dirumahnya, menyampaikan kalau cara kerja wartawan itu harus Sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 2, wartawan Indonesia harus bekerja secara profesional. Kemudian, pasal 6 juga menjelaskan, bahwa wartawan Indonesia tidak menerima suap dalam bekerja.

"Kalau ada sekelompok oknum yang mengaku wartawan, kemudian meminta sejumlah uang, itu bukan perilaku wartawan, "Terang Habibi.

Perlu hati-hati, modusnya oknum wartawan dan LSM, yang meminta jatah dengan berbagai alasan, pengamanan, bayar koran, pasang iklan, Publikasi dan lain lain. Padahal dalam sistem pengelolaan aliran dana desa (DD) diperlukan transparansi dan pelaporan yang harus dipertanggung jawabkan oleh kepala desa sebagai penerima manfaat.

"Memang, anggaran dana desa besaran miliaran rupiah tersebut ada pos untuk publikasi informasi. Akan tetapi dari anggaran yang dikeluarkan untuk pos, pembayaran koran, iklan dan publikasi, harus jelas, seperti penjelasan Dewan Pers, tidak cuma berbadan hukum, tapi terverifikasi Faktual, oleh dewan pers. Kasian kepala desa kalau kedatangan wartawan odong-odong, tidak ada karya tulisnya, alasan silaturrohmi, endingnya minta jatah uang. "Ucapnya.

Lebih lanjut, "memang ada di Permen dan di Perbup untuk pos publikasi, tapi SPJ nya harus jelas dan akuntabel. disertai dokumen yang dilampirkan dan dapat dipertanggung jawabkan," ucap nya.

Untuk itu, Habibi mengajak semua wartawan untuk menjaga nama baik profesi agar Marwah Wartawan tetap baik di mata kepala desa dan masyarakat. (Syafi'i/Yus)