Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Perjalan Mpu Sindok ke Taman Suci Wanua Cunggrang.



Pasuruan, Pojok Kiri
Prasasti Cunggrang menjadi landasan sebagai sumber sejarah perpindahan wangsa dan juga sebagai tonggak sejarah Pasurua. Prasasti Cunggrang 929 M, memiliki artian penting bagi peninggalan sejarah di lereng gunung Pawitra/penanggungan.
Sebab, dalam prasasti ini disebutkan bahwa Mpu Sindok memberikan perintah kepada rakyat Cunggrang atau yang sekarang jadi desa Bulusari, untuk menjadi sima (desa) bagi Pawitra (Gunung Penanggungan) dan memelihara pathirtan dan prasada juga memperbaiki Pawitra. 


Yang dimaksud dengan pathirtan adalah candi Belahan sebab candi Belahan berada disebelah selatan barat lokasi prasasti Cunggrang. Selain itu, dari prasasti Cungrrang dapat direkontruksi kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan religi pemerintahan Mpu Sindok.

Peninggalan-peninggalan Mpu Sindok berupa candi, seperti Candi Belahan, candi Gunung Gangsir, candi Jalatunda, candi Lor, dan candi Songgoriti.


Perpindahan ibukota kerajaan sering kali terjadi pada kerajaan-kerajaan besar, hal ini dilakukan untuk menghindari serangan dari musuh
maupun untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Salah satu kerajaan yang memindahkan pusat
pemerintahannya adalah kerajaan Mataram yaitu
semula pusat pemerintahannya di Jawa Tengah ke Jawa Timur.1
Pada awal abad X pusat
pemerintahan di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur tetapi pada hakikatnya kedua periode itu masing-masing mempunyai sifat dan bentuk tersendiri, namun dengan naiknya tahta raja Sindok maka untuk selama kurang lebih 300 tahun Jawa Timur diperintah oleh dinasti baru yaitu Dinasti Icana yang diambil dari gelar resmi raja Sindok yaitu Mpu Sindok Cri Icanatunggadewawijaya.

Kepemimpinan Kerajaan Medang silih berganti dari Sanjaya hingga Syailendra, sesuai dengan beberapa prasasti, Kelurak, prasasti Nalanda, ataupun prasasti Kayumwungan yang menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota wangsa
Syailendra, sementara sisanya adalah wangsa
Sanjaya, kemudian Dyah Balitung adalah Mpu Daksa yang memperkenalkan sebagai keturunan Sanjaya. Daksa digantikan oleh menantunya bernama Dyah Tulodhong. Pemerintahan Tulodhong berakhir akibat pemberontakan Dyah
Wawa yang akhirnya naik tahta, namun pemerintahan Dyah Wawa berakhir tiba-tiba yang
diakibatkan serangan dari kerajaan Melayu dan
juga bencana gempa bumi yang mahadahsyat
sehingga terjadi pralaya (kehancuran).
Sebagian anggota kerajaan dan pejabat tinggi, serta rakyat
mengungsi ke daerah timur. Daerah itu dianggap sebagai dunia baru, tempat-tempat pemujaan baru, dan diperintah oleh wangsa yang baru.Dengan kepindahan pusat pemerintahan ke Jawa Timur berarti adanya wangsa baru yaitu wangsa Icana.
Istilah wangsa Icana dijumpai di dalam prasasti Pucangan,yang berbahasa Sansekerta, dan dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041 M). Isinya “Silsilah raja Airlangga,
dimulai dari Sri Icanawikramadharmatungga atau Mpu Sindok yang mempunyai anak perempuan yang bernama Sri Icanatunggawijaya, Sri Icanatunggawijaya menikah dengan Lokapala dan mempunyai anak bernama Sri Makutawangsawardhana. Seperti yang dapat dilihat, dari silsilah tersebut maka pendiri wangsa ini adalah Mpu Sindok Sri Icanawikrama
Dharmmotunggadewa. Sebelum menjabat sebagai raja Mpu Sindok menjabat sebagai rakryan mapatih halu dan rakryan mapatih hino.
Biasanya jabatan ini diisi oleh kaum kerabat raja
yang dekat dan masih anggota wangsa Syailendra. Akan tetapi karena kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran yang disebabkan letusan gunung merapi yang mahadahsyat, Mpu
Sindok membangun kembali kerajaannya di Jawa Timur yang dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Icana. Pemerintahan Mpu Sindok terhitung mulai tahun 929 M sampai 948 M.
Pada pemerintahan Mpu Sindok ini didapatkan sekitar 30 prasasti yang
sebagian besar tertulis di atas batu yang tersebar di Jawa Tengah dan terbanyak di daerah Jawa Timur. Sebagian besar prasasti Mpu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Salah satunya yakni Prasasti Cunggrang yang berada di Desa Sukci/Bulusari Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.

Wanua/Desa Cunggrang
menjadi sima atas permintaan para pejabat desa Cunggrang, sedangkan penetapan sima atas perintah raja untuk merawat 3 darma, Darma Patapan ing Pawitra, darma prasada silunglung, Darma Tirta pancuran di Pawitra, yang dibebankan /yang di tugasi merawat ke 3 darma tersebut (bangunan) adalah warga Cunggrang (Bulusari).
Dari prasasti Cunggrang tahun 929 M berbunyi ;
“... barunadewata, gandayoga irika diwasa ni ajna sri maharaja rake hino mpu sindok sri
icana wikrama dhamottungga, uminsor I
samgat mohahomah kalih, mpu padma, samgat
anggehan mpu kundala, kumonaken ikanang
wanua I cunggrang, watek bawang atagan I
wahuta wungkal, gawai ku 2 anggahan, ma su
15 katikprana susukan sima arpanakna ri sang
hyang darmmasrama patapan I pawitra, muang I sang hyang prasada silunglung sang sidha dewata rakryan bayah rakryan binihaji
sri parameswari dyah kbi paknan yan sinusuk
pumpunana sang hyang dharma-patapan muang sang hyang prasada silunglung sang dewata umyapara ai sang hyang dharma-patapan nguniweh sang hyang prasada, muangamahayana sang hyang tirtha pancuran I pawitra...” yang kalau di terjemahkan,
“...dibawah lindungan dewa Baruna, pada
sudut edar burung garuda, itulah perintah dari
yang mulia Maharaja Rake Hino Mpu Sindok Sri Isanawikramadharmatungga, turun kepada kedua Samgat Mohahumah, yaitu bernama Mpu Padma dan samgat Anggehan bernama
Mpu Kundala. Diperintahkan agar wanua Cunggrang, di bawah watek Bawang, di bawah kepemimpinan Wahuta Wungkal, dengan kewajiban kerjabakti senilai 2 kupang,
pajak tanah senilai 15 suwarna emas, dan
sejumlah penduduknya, untuk menjadi daerah sima, bagi persembahan kepada pertapaan dan
asrama yang suci di Pawitra, serta prasada
Silunglung yang suci milik Rakryan Bawang yang telah menjadi dewa, ayahanda permaisuri
Dyah Kbi. Dibebaskannya daerah itu menjadi hak milik dharmasrama Patapan dan sang hyang prasada Silunglung yang dipersembahkan kepada tokoh yang telah menjadi dewa. Bahwa penduduk desa sebaiknya dimanfaatkan bagi sang hyang dharmasrama patapan dan juga sang hyang Prasada, termasuk juga pemeliharaan pancuran air di Pawitra...”
yang artinya daerah ini diberikan kepada Wahuta
( Wahuta ialah pemegang lungguh atau tuan tanah, jadi Wahuta Wungkal adalah Wungkal seorang tuan tanah di daerah Cunggrang). Wungkal, Cunggrang disebut juga sebagai Watek Bawang (Watek adalah suatu wilayah yang terdiri dari kumpulan beberapa desa, (Watek Bawang adalah
daerah di bawah kekuasaan watek/kabupaten
(Kabupaten Bawang), yang artinya daerah Cunggrang adalah daerah milik rakryan Bawang, yang berkewajiban melakukan kerjabakti senilai 2kupang, pajak tanah senilai 15 suwarna emas yang dibayarkan setiap bulannya sebelum dijadikan sebagai sima. 
Pembayaran pajak tanah diberikan kepada
pemegang kekuasaan sebagai gajinya, tetapi
apabila tanah dijadikan sima maka pajak tidak
diserahkan kepada pemegang kekuasaan, tetapi diberikan kepada penerima sima atau perdikan.
Sejak awal kekuasaan raja Sindok banyak
meninggalkan prasasti yang berbeda dari
pemerintahan di Jawa Tengah yang banyak
ditemukan bangunan suci maupun candi-candi
sebagai bukti nyata pemerintahan. Ia banyak
meninggalkan prasasti, tetapi peristiwa-peristiwa
sejarahnya kurang didapat. Hal ini, karena prasasti yang ditinggalkan banyak berisi pembebasan tanah dari pajak untuk keperluan bangunan-bangunan
suci.

Di dekat tempat lokasi prasasti Cunggrang di lereng timur Gunung
Penanggungan ditemukan beberapa peninggalan
tempat pemandian, antara lain di Belahan, yang
tidak jauh di atas lokasi prasasti Cunggrang.

Usaha-usaha sosialnya itu memberikan kesan, bahwa pemerintahan Sindok berlangsung dengan aman dan sejahtera. Salah satunya adalah prasasti Cunggrang, yang menyebutkan bahwa
Mpu Sindok memerintahkan rakyat Cunggrang dibawah langsung Wahuta Wungkal untuk menjadi sima bagi pertapaan di Pawitra (Gunung Penanggungan) dan memelihara pertapaan dan prasada juga memperbaiki Pawitra. 

Karena semakin berat bebannya untuk merawat 3darma. 
1. Darma patapan ing Pawitra.
2. Darma prasaja silunglung (makam Dyah bawang).
3. Darma pancuran ing Pawitra.

Warga cunggrang itu sendiri penghasilannya dalam merawat 3 darma, yaitu dijadikannya desa sebagai desa Wanua swatantra atau desa bebas pajak dan boleh menarik pajak kepada semu pendatang dari luar luar desa termasuk pedagang.

Seperti yang sudah ditemukan di dusun Blimbing sebuah Saluran air, saluran ini merupakan "Darma Tirta pancuran di penanggungan, dimana di masa Mpu Sindok itu yang dibebani atau yang ditugasi melalui dua orang sangat, Mpu Patma dan Mpu Kundala untuk mengatur atau merawat bangunan yang di sana itu untuk dirawat warga cunggrang. 

Hayamwuruk setelah di nobatkan Ibundanya Dyah Tribuana Tunggadewi sebagai raja di tahun 1350-1389, namun di saat tahun 1359 mampir di cunggrang. 

Perjalanan sang raja Hayamwuruk kembali dari telatah wetan usai melakukan pencatatan desa-desa, sang raja dalam perjalanan pulang ke Wilwatikta pura (istana) mojopahit, menyempatkan diri kecandi Jawi, mandeq ke-kedamian ( Pulungan ) kemudian berhenti ke Cunggrang. Ada apa di cunggrang,,,,? Sampai Hayam Wuruk berhenti di cunggrang,atas keterangan di situ "Dalam pupuh Negara krtagama Pupuh 58 :
“...warna I sah nira rin jajawa rin, padameyan ikan dinunun, mande Cungran apet kalanon numabas in wanadealnon darmma karsyan I parcwanin acala pawitra inaran ramya nika panunan, lurahlurah bhasa kidun...” terjemahan :
“...Tersebut dari Jajawa Baginda berangkat ke
desa Pademayan (Pulungan) berhenti di Cunggrang, mencari pemandangan, masuk hutan rindang menuju keasrama para pertapa yaitu "Darma Karisian i di lereng kaki gunung Pawitra menghadap jurang Luang, jurang
ternganga-nganga ingin menelan orang yang
memandang...”mencari keindahan". Dengan santai karena Hayamwuruk habis kawin/ mendapat istri baru, dari Keta , dia berlindung /bersenandung (Pupuh 58 alinia 1 baris 1s/d 4 ).

Kenapa kecunggrang itu pulangnya, padahal habis kebarat-ketimur. Ternyata dari Panca aksara pura yang dari Gunung perahu (sebelah utaranya) itu langsung ke Kapulungan dan bermalam dikapulungan dan selanjutnya, pulangnya baru ke Cunggrang. "Ternyata di Cunggrang ada sebuah berita yang besar yaitu ada sebuah prasasti yang bernama cunggrang, yang dulunya di tahun itu diberikan hadiah oleh seorang ratu.

Dari uraian prasasti Cunggrang menyebutkan
bahwa di Gunung Pawitra /Penanggungan ada bangunan patapan, berdasarkan prasasti Pucangan (1041) dapat ditetapkan bahwa berada di sekitar Penanggungan, kalau sekarang bisa di lihat di sekitaran dusun Belahan Nongko. Tempat asrama bagi para pertapa, akan tetapi.

Menurut sumber sejarawan, di dusun Belahan Nongko, pernah berdiri universitas terbesar yang dulu tercatat sebagai asrama resi (luasnya diperkirakan kurang lebih 10 hektar), di dekat tirtha pancuran yang telah ada pada abad IX, universitas ini berdiri sebelum jaman Airlangga. 
Dari prasasti Cunggrang didapatkan data-data
sejarah bahwa prasasti Cunggrang terdapat nama raja yang mengeluarkan prasasti itu, nama daerah
yang dikuasainya sebagai tempat dikeluarkan
prasasti, ada nama pejabat pemerintahan,
disebutkan juga nama-nama tempat suci yang di dharmakan untuk rakryan Bawang ayah permaisuri Dyah Kbi, dan juga tirtha pancuran.

Tugas penduduk Cunggrang adalah bergotong royong
merawat atau menjaga pertapaan, prasada silulung, dan merawat bangunan pancuran di Pawitra. 
Selain itu, ada yang beranggapan bahwa gunung Penanggunan merupakan tempat yang sakral karena sakralitas itu muncul dalam gambaran kehidupan rohani masyarakat yang tertebar di atas dan sekitarnya dalam bentuk penamaan Pawitra
sebagai dharma Ipas karesyan, yaitu seperti yang diungkapkan oleh pupuh 78 Negara kertagama11 :
“...iwir min dharma Ipas Karayan i sumpud/
rupit/ mwang pilang, len tekan pucanan/ jagad
dita pawitra mwan butun tan kasah, kapwa
teka hana pratista cabha len linga pranalanupul, mpunku sthapaka san mahaguru paneguh ni sarat/ kotama...” terjemahan :
“...Desa Karesian seperti berikut ; Sumpud,
Rupit, dan Pilan, Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air Yang
Mulia Maha Guru demikian sebutan beliau...”
Tempat itu juga disebut sebagai mandala,
merupakan suatu komunitas agama di desa, yang merupakan lembaga pendidikan pada masa Hindu-Budha yang berkewajiban menyelengarakan
pendidikan secara resmi di bawah pimpinan guru
yang berkemampuan tinggi baik secara rohani dan jasmani. Para siswa mandala berdiam bersama di sekitar guru dalam suatu lokasi atau bangunan yang disebut ashrama. Biasanya mandala memiliki
aturan - aturan yang berorientasi kepada
keagamaan yang berpusat pada pemujaan lingga
yoni, sebagaimana yang terdapat pada situs
Cunggrang. 

Pelaksanaan pendidikanya dipimpin oleh seorang guru atau lebih yang disebut sebagai resi, brahmana, yogin (ahli yoga) atau dewa guru.
Oleh karena itu, tempat - tempat perguruan ini
dikenal sebagai karsyan. Mereka hidup di daerah -
daerah terpencil seperti di bukit - bukit berhutan, di
pedalaman, dan hidup dari bertani.
Pertapaan di situs Cunggrang terus berfungsi hingga awal abad XI munculnya Airlangga dalam sejarah nasional. Tokoh baru ini memiliki cita-cita, yaitu menegakkan kembali kekuasaan kerajaan
peninggalan mertuanya. Hal ini terbukti tatkala ibukota Kerajaan Dharmawangsa mengalami kehancuran (Pralaya) akibat serangan Wura-Wari, Airlangga kala itu tengah menjadi mempelai terpaksa menyelamatkan diri di suatu patapan di
wanagiri (hutan gunung), yang tidak lain adalah
Gunung Penanggungan.
Dengan demikian Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan memiliki arti penting pada masa Dinasti Icana. Hal ini diketahui bahwa mulai dari raja Sindok hingga
Airlangga sangat menaruh perhatiannya pada
Gunung Penanggungan.

Hal ini karena Gunung
Penanggungan memiliki arti filosofis dan religius
pada abad IX-XI dimana suatu periode ajaran
agama dan filsafat sangat mempengaruhi
kepercayaan dan pandangan hidup masyarakatnya. 
Dalam konteks ini Penanggungan adalah alat pembersih yang dapat menghilangkan kleca (cacat, dosa, noda). Jadi menurut kepercayaan masyarakat, Gunung Penanggungan dan sekitarnya memiliki
kekuatan untuk membersihkan diri guna mencapai suatu tingkat kesucian, murni, bebas dari bahaya, keramat, sakral dan kudus. Oleh karena itu, pada
zaman kuno ketika nilai – nilai kepercayaan di
lereng Gunung Penanggungan telah berdiri tempat
– tempat suci seperti bangunan pertapaan,
bangunan pathirtan, pathirtan Jalatundo, pathirtan Blahan, Gunung Gangsir. 

Oleh karena itu prasati Cunggrang memiliki arti sangat penting bagi keagamaan. Prasasti Cunggrang yang berlokasi di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan gempol, kabupaten Pasuruan yangmerupakan sebuah rasasti yang berstatus sebagai sima. Prasasti Cunggrang dijadikan sima sebab rakyat Cunggrang
dibawah kepemimpinan Wahuta Wungkal
diperintahkan untuk merawat daerah Pawitra yang sekarang Gunung Penanggungan. 

Dari Prasasti Cunggrang dapat direkontruksi beberapa peninggalan Mpu Sindok sebagai wujud daerah kekuasaannya. 

Dari beberapa peninggalannya
mempunyai kemiripan satu sama lain.Birokrasi pemerintahan pada Mataram Kuno Jawa Timur terus berkembang dari yang bersifat sederhana hingga terstruktur dengan baik hingga ketingkat desa.

Pada pemerintahan kerajaan Mataram
khususnya dinasti Icana telah mengadopsi
pemerintahan dari Mataram Jawa tengah namun disempurnakan kembali dengan pengaturan posisi
yang berbeda pada tiap lapisan. Keadaan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan religi pada pemerintahan Mataram Kuno Jawa Timur sudah stabil. Dimana keadaan politik telah mengalami perkembangan yang signifikan dari yang berpola sederhana yang pemerintahannya hanya berpusat pada daerah tingkat pusat kini sudah merata hinnga ke watak. 

Dari segi ekonomi telah memberikan dampak yang menguntungkan karena secara tidak langsung Jawa Timur dimasukkan ke dalam jaring-jaring perdagangan yang membentang dari Indonesia Timur hingga ke selat Malaka. Sehingga perekonomian masyarakat Mataram Kuno berkembang pesat dan rakyatnya makmur. Ketiga segi sosial, mendapatkan
kemajuan yangdisebabkan perpindahan pusat
kerajaan. Seperti, dalam prasasti Cunggrang
tampak sekali masyarakatnya bergotong royong untuk merawat daerah Pawitra. Meskipun dalam pelapisan masyarakatnya masih bersifat stratifikasi sosial yang ditandai dengan adanya maharaja, wanua (tuha-tuha/buyut), dan juga watek (raka/rakai). 

Kebudayaan, segi kebudayaannya pun ikut
ambil bagian dalam perpindahan pusat kerajaan ini yang dimana di Jawa Timur di hasilkan karya-karya seniman termashur, selain itu berdirinya pusat literasi di daerah lereng gunung
Penanggungan. Masih ada lagi yaitu pertunjukkan
wayang yang pada saat itu sebagai tontonan masyarakat pada kegiatan keagaamaan.

Salah satu gelar dari raja Sindok adalah Mpu Sindok Icanawikrama dharmattunggadewa yang artinya gelar ini dan juga peninggalan prasastinya
menunjukkan bahwa Mpu Sindok beragama Hindu-
Siwa.
Dari beberapa peninggalan dinasti Icana pada pemerintahan Mpu Sindok menunjukkan wilayah kekuasaannya diantara di Malang ditunjukkan dengan keberadaan candi Songgoriti, Nganjuk ada
Candi Lor, di Pasuruan ada candi Gunung Gangsir
dan juga prasasti Cunggrang yang menunjukkan keberadaan sebuah petirthaan yaitu candi Belahan/petirthan Belahan dan candi
Jalatunda/petirthan Jalatunda. Selain sebuah
peninggalan-peninggalan bersejarahnya pada masa pemerintahan Mpu Sindok di wiliyah Pasuruan
meninggalkan sebuah peristiwa penting. 

Dimana penanggalan pada prasasti Cunggrang dijadikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Pasuruan dengan pertimbangan bahwa prasasti Cunggrang merupakan peninggalan tertua pada Kabupaten Pasuruan.
Dalam Kurikulum 13 kerajaan Hindu-Buddha
memiliki peranan penting menjelaskan kesejarahan
di Indonesia dan mampu menjelaskan bukti-bukti
peninggalan yang ada hingga saat ini. Salah
satunya prasasti Cunggrang yang merupakan salah
satu peninggalan Mpu Sindok mampu memberikan penjelasan sebagai sumber sejarah maupun menjelaskan bentuk pemerintahan pada masa Mpu Sindok dan menggambarkan bagaimana keadaan
masyarakat sosial budaya pada kerajaan Mataram
Kuno masa Mpu Sindok, maka sangat tepat sekali kalau Masa pemerintahan desa Bulusari saat ini yang sangat peduli dengan kebudayaan, sifat gotong royong, dan agamis. Sifat-sifat itu menandakan warga masyarakat Bulusari itu suci, perwujudannya dengan dibangunnya Taman Suci.

Taman Suci dibangun supaya bisa berdampak pada peningkatan perekonomian Warga masyarakat, selain sebagai destinasi wisata desa. Hal ini sesuai dengan harapan leluhur masyarakat Wanua Cunggrang.

Bahkan Andriyanto PJ Bupati Pasuruan yang baru dilantik didampingi Pengusaha rokok RMS, Asisten satu, Kadispora, Anggota DPRD, Camat Gempol, Kades Bulusari bersama jajaran berkunjung Ke-Taman Suci tersebut.(Syafi'i/yus).