Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Dampak Omni Bus Law Terhadap Hak Nakes Usai UU Kesehatan di Sahkan.


  Yopi Hermawan 

Pasuruan, Pojok kiri
“Omnibus Law UU Kesehatan disebut akan menghadirkan solusi terhadap berbagai permasalahan di bidang Kesehatan. Seperti pelayanan kesehatan yang masih didominasi pendekatan kuratif, ketersediaan dan distribusi Sumber Daya Kesehatan (SDM), kesiapan menghadapi krisis kesehatan, aspek kemandirian farmasi dan Alat Kesehatan”.

Pernyataan yang pernah disampaikan oleh ketua DPR RI, selayaknya bisa menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan. Salah satu kalimat “kesiapan menghadapi krisis kesehatan”, merupakan isyarat eksplisit yang dapat diartikan sebagai upaya memahami, melakukan analisa, melakukan perencanaan dan melaksanakan manajemen risiko kesehatan.

Yopi Hermawan adalah perawat yang bekerja di RSUD Bangil sebagai kepala perawat unit Hemodialisis dan ketua komite keperawatan penulis saat ini sedang melaksanakan studi pasca sarjana magister keperawatan universitas Airlangga Surabaya

Manajemen risiko kesehatan adalah usaha setiap pemberi layanan kesehatan dalam mencegah terjadinya bahaya pelayanan kesehatan yang berdampak pada pasien. Perawat sebagai salah satu pilar penting dalam pelayanan kesehatan, mempunyai andil dan tanggung jawab yang besar dalam melaksanakannya.
Mengutip artikel yang ditulis oleh Agus, dkk, yang diterbitkan dalam jurnal Ikesma tahun 2022 menyebutkan, data Dirjenyankes yang telah dilaporkan di Indonesia, angka kejadian IKP (Insiden Keselamatan Pasien) sampai dengan tahun 2019 telah mencapai 10.570 kejadian. Berdasarkan data yang telah disampaikan WHO, terdapat 134 juta kejadian yang tidak diharapkan setiap tahun di rumah sakit di LMICs, yang memberikan kontribusi 2.6 juta kematian akibat perawatan yang tidak aman (Depkes RI, 2014). Salah satu penyebab kejadian, mungkin juga ada peran perawat didalamnya. Perawat sering dihadapkan pada tugas rutin dalam proses penyembuhan pasien melalui pelaksanaan asuhan keperawatan. Kegiatan tersebut memang penting dan sebagai tugas utama.

Namun perawat juga harus memperhatikan faktor-faktor non teknis pelayanan, seperti bagaimana mengelola potensi bahaya kepada pasien di ruang perawatan yang ditempati.
Hal-hal yang bisa dianggap remeh tapi dampaknya sangat signifikan apabila tidak tertangani dengan baik, sering lepas dari pengamatan pelayanan. Baik perawat maupun pasien/keluarga, sering hanya berfokus pada proses kesembuhan pasien. Mereka kurang menyentuh lini potensi bahaya yang terjadi, yang justru dikhawatirkan akan menjadi aktual sekunder cedera pada pasien.

Pasien dan keluarga sangat jarang bahkan hampir tidak pernah menanyakan, misal agar saya tidak lalu lalang yang berpotensi jatuh, jam berapa saja lantai dibersihkan? Dimana letak bel darurat yang bisa saya jangkau ? Dimana saya dapat membaca denah ruangan tempat saya dirawat? Dimana lokasi titik kumpul yang bisa saya tuju, sehingga dapat terhindar dari dampak bencana? dan lain sebagainya. 

Hal tersebut menarik untuk dicermati. Pada BAB II pasal 4 butir k, disebutkan “Setiap Orang berhak mendapatkan pelindungan dari risiko kesehatan.”. Peran pasien/keluarga juga menjadi penting dalam proses pencegahan bahaya cedera yang mungkin terjadi. Sehingga tidak menambah permasalahan terhadap kejadian yang tidak diharapkan. Perawat harus mampu melakukan identifikasi, melakukan analisa, menyusun rencana tindak lanjut terhadap ruang pelayanan pasien yang menjadi lingkup tanggung jawabnya. 

Banyak metode analisis risiko yang dapat digunakan, salah satu contoh FMEA. FMEA adalah sebuah teknik analisa yang digunakan untuk menetapkan, mengidentifikasi, dan untuk menghilangkan kegagalan yang diketahui, permasalahan, error, dan sejenisnya dari sebuah sistem, desain, proses, dan atau jasa sebelum mencapai konsumen. Perawat harus mampu melakukan analisa dan memberikan kejelasan informasi kepada pasien/keluarga, melakukan sosialisasi kepada pasien dan keluarga tentang upaya pencegahan dan mitigasi risiko. Sehingga hasil akhirnya pasien/keluarga benar-benar mengerti dan paham apa yang harus dilakukan.
Di era 4.0 saat ini, masyarakat semakin kritis demi mendapat pelayanan kesehatan. 

Era keterbukaan berita, kemudahan mengakses kabar melalui media sosial, seharusnya menjadi potensi bagi para perawat. Upaya memberi edukasi kepada masyarakat juga menjadi lebih mudah dilakukan. Mengutip dari dataindonesia.id, disebutkan “Data Kementerian Kesehatan, terdapat 1,26 juta tenaga kesehatan di Indonesia per 4 Januari 2023. Dari jumlah itu, perawat menjadi tenaga kesehatan yang paling banyak, yakni 524.508 orang.”. Menilik jumlah penduduk Indonesia pada sensus penduduk tahun 2021 sebanyak 273,8 juta, tentunya masih belum sebanding dengan rasio tenaga keperawatan yang ada. Namun, agar pengetahuan kepada masyarakat tentang potensi pelayanan yang tidak diharapkan dapat tercapai, perawat dapat melakukan sosialisasi di masyarakat, tidak hanya di fasilitas kesehatan saja, sehingga masyarakat memiliki modal ketika nantinya membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal itu juga sejalan dengan Pasal 88, disebutkan “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Bersama masyarakat serta pemangku kepentingan terkait bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang faktor risiko penyakit menular dan penyakit tidak menular kepada masyarakat berisiko.”. Disini peran perawat menjadi penting untuk bisa berkolaborasi dengan pemerintah dalam upaya pemberian pengetahuan kepada masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi digital atau melalui penyuluhan secara langsung.

Undang-undang nomor 17 Tahun 2023 (Omnibuslaw Kesehatan) yang disahkan baru-baru ini, memberikan semangat baru bagi para tenaga kesehatan, salah satunya perawat, untuk melaksanakan tata kelola manajemen risiko dengan baik. Perawat sebagai tenaga profesional pemberi asuhan pasien, juga merasa terlindungi dengan hadirnya Undang-undang tersebut. 

Pengawasan pelaksanaan manajemen risiko keperawatan dilakukan oleh Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Audit dilakukan oleh Komite Keperawatan. Selanjutnya dilakukan validasi oleh Badan Akreditasi yang berwenang. Sedangkan organisasi profesi perawat, dalam hal ini PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) sebagai penyelenggara secara berkala upaya peningkatan kompetensi dan pengetahuan perawat dalam melaksanakan tata kelola manajemen risiko keperawatan. Kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, workshop atau pelatihan, yang tentunya menurut Undang-undang tersebut, harus lebih dulu mendapat sertifikasi pelaksanaan dari Kementerian Kesehatan.

Kepada DPR dan Pemerintah, terima kasih telah menghadirkan regulasi baru tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan. Kepada para perawat Indonesia, semangat berkiprah. Jangan menolak sebuah perubahan, lebih baik membekali diri agar siap menerima sebuah perubahan. Keselamatan pasien adalah prioritas pelayanan Anda.(hum/yus)