Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Desa Tua Kapulungan, Lahir Tokoh-Tokoh Penting Dari Masa Ke-Masa.



Pasuruan Pojok Kiri
Dikutip dari berbagai sumber, dan bukti peninggalan candi atau artefak kuno yang sudah ada atau yang baru ditemukan, seperti Sarkofagus (wadah pemakaman yang terbuat dari batu), dan Batu dakon. Ini artinya desa kepunlungan di era prasejarah (megalitikum) sebelum Masehi sudah ada peradaban.

Watu dakon kalau dilihat dari fungsinya menandakan pada saat itu masyarakat Kapulungan sudah berkoluni, penduduknya bercocok tanam, karena fungsi watu dakon untuk sebagai alat upacara memohon pertolongan kepada roh nenek moyang agar memperoleh hasil panen yang baik serta mengharapkan kesuburan tanah.

Tidak hanya jaman megalitikum, diera abad 9 wangsa Isyana masuk Jawa timur, terbukti di Kapulungan ada patung Ganesha. 


Ganesha adalah salah satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. 

Temuan pecahan keramik kuno di sekitar makam desa Kapulungan menandakan juga pada saat itu hubungan perdagangan dengan luar negeri sudah ada. 

Belum lagi di beberapa dusun yang ada di desa Kepulungan ditemukan Lingga Yoni, yang mana lingga Yoni melambangkan pilar cahaya, simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Apakah dulu Kapulungan adalah pilar adanya kerajaan, karena menurut teori lingga Yoni rata-rata berada di dekat istana atau Sitinggil.

Dari berbagai temuan tersebut menunjukkan masyarakat desa Kapulungan era megalitikum dan era wangsa ichana, Mojopahit melahirkan orang-orang hebat, terbukti mapatih kerajaan Singosari dari kapulungan, Prasasti Balawi “Mapatih Ring KAPULUNGAN mpu dedes wiraniwarya”.


Jurnalis Pojok Kiri mencoba menelusuri tidak hanya jaman prasejarah dan Mataram kuno, tetapi di era Mataram Islam peran orang - orang hebat desa Kapulungan saat itu sejauh mana. Dengan menelusuri sejarah Pasuruan.

Jaman Airlangga Pasuruan merupakan kota pelabuhan kuno, disebut Paravan, yang semakna dengan nama Ayodhya. Di dalam Negarakretagama Pasuruan disebut sebagai salah satu tempat yang dilewati iring-iringan rombongan Raja Majapahit Hayam Wuruk dalam perjalanan ke timur , namun tidak terdapat keterangan siapa penguasa bawahan Majapahit yang berkuasa di tempat itu.

Dalam Negarakertagama, pupuh 35 disebutkan: “Sampai Paravan (Pasuruan menyimpang jalan keselatan menuju Kepanjangan mengikuti jalan raya, kereta berjalan beriringan ke Andoh Lawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Selanjutnya Baginda menuju Singasari dan bermalam di sana. 

Pada paruh pertama abad ke-16 – sampai setelah runtuhnya Majapahit 1527 Masehi – Pasuruan dipimpin oleh Raja Garuda (Gamda) bernama Menak Supethak, putera Patih Majapahit, Mahudara. Menurut Tome Pires (1944) Menak Supethak diketahui sebagai pendiri ibukota Pasuruan dan dikenal memerangi penguasa Surabaya dan menghalangi penyebaran Islam di wilayah timur. 

Menak Supethak sangat berkuasa karena menjadi menantu Adipati Menak Pentor Blambangan (1500-1531) dan ayah dari Adipati Dengkol. Serat Kandhaning Ringgit Purwa menuturkan bagaimana Menak Supethak dan puteranya, Adipati Dengkol membantu saudaranya, Raden Pramono menyerang dan menguasai Kadipaten Sengguruh.

Menurut Babad Sangkala Pasuruan jatuh pada tahun 1535 Masehi setelah diserang pasukan Demak di bawah Sultan Trenggana. Pasuruan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Madura, Sumenep, Sidayu,dan Gresik yang dipimpin oleh menantu Sultan Trenggana, Aria Pojok yang bergelar Ki Demang Laksamana. Pada masa Demak jatuh setelah terbunuhnya Sultan Trenggana pada 1546 dalam penyerbuan ke Panarukan, Pasuruan di bawah kekuasaan keturunan Ki Demang Laksamana. 

Menurut Hageman (1852) pada saat Pajang memperluas wilayah ke timur, Pasuruan di bawah kekuasaan Panembahan Lemah Duwur, keturunan Ki Demang Laksamana. Sedang menurut Padmasoesastra (1912), Panembahan Lemah Duwur adalah menantu Sultan Pajang.

Diketahui Pangeran Arosbaya putra Ki Demang Laksamana mempunyai 2 orang putra yaitu Pangeran Langgar Jamburingin dan Panembahan Lemah Duwur. Pangeran Arosbaya menikahkan Pangeran Langgar Jamburingin dengan Ratu Pembayun, putri Sultan Trenggono dan melahirkan Ratu Harisbaya yang diperistri oleh Panembahan Ratu dari Cirebon. Adapun Panembahan Lemah Duwur (1531-1592) dinikahkan dengan salah satu putri Sultan Hadiwijaya dan melahirkan Raden Koro/Pangeran Tengah (1592-1621) ayah dari Raden Prasena /Cakraningrat 1 (uwak Trunajaya).]

Pada masa Mataram awal, Pasuruan memiliki wilayah sampai jauh ke pedalaman. Babad Sangkala menyebut bahwa pada tahun 1501 Jawa (1579 Masehi) orang-orang Pasuruan menyerang dan menghancurkan Kediri. Menurut Babad Tanah Jawi dan Babad Sangkala, sebelum Pasuruan ditundukkan Mataram terjadi pertarungan antara Bupati Keniten, bawahan Adipati Pasuruan dengan Panembahan Senapati di Kali Dadung (Madiun) pada tahun 1513 Jawa atau 1591 Masehi.

Diketahui beberapa bupati yang bersekutu dengan Panembahan Madiun (putra bungsu Sultan Trenggono) di purabaya yang tidak tunduk pada kekuasaan Mataram waktu itu adalah Surabaya, Ponorogo, Pasuruan, Kediri, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo (Tulungagung), Blitar, Trenggalek, Tulung (Caruban), dan Jogorogo.]

C.C.Berg dalam disertasi berjudul De Middlejavaansche historische traditie (1927) mengutip sumber Kidung Pamancangah tentang serangan Maharaja Bali Di Made (1623-1642) dari kerajaan Gelgel yang mengirimkan 20.000 orang pasukan untuk menyerang tentara Mataram di Pasuruan dibawah pimpinan seorang panglima asal Tabanan, Ki Gusti Wayahan Pamadekan (raja bawahan dari Tababan).

Dari sumber: Hans Hägerdal, “‘From Batuparang to Ayudhya; Bali and the Outside World, 1636-1656”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 154 1998, pp. 70-1. diketahui bahwa Kerajaan Gelgel mengklaim Blambangan di Jawa Timur, Lombok, dan Sumbawa (termasuk bagian timurnya, Bima) termasuk wilayah kekuasaannya di tahun 1630-an.

Di dalam Babad Arya Tabanan disebutkan bahwa Ki Gusti Wayahan Pamadekan atau Angrurah Wayahan Pamadekan diperintahkan oleh Dalem Di Made di Sukasada untuk menyerang Jawa bersama adiknya, Ki Gusti Made Pamadekan atau Kyai Ngurah Pacung. (Keduanya adalah putra Ki Gusti Ngurah Tabanan ’Prabu Winalwan/Betara Mekules).

Dalam pertempuran hebat dengan pasukan Mataram di Pasuruan, yang terjadi pada tahun 1635 Masehi itu dikisahkan Kyai Ngurah Pacung mundur bersama pasukannya. Sedang kakaknya, Ki Angrurah Wayahan Pamadekan yang tubuhnya kebal senjata berhasil ditawan oleh Mataram dan kemudian diambil menantu oleh Sultan Agung (1613-1646) dari Mataram, memiliki putera bernama Raden Tumenggung, yang kelak menjadi tokoh yang diketahui bernama Ki Dermayuda tumenggung Kapulungan.

Tidak ada keterangan apakah setelah menjadi menantu Sultan Mataram Ki Angrurah Wayahan Pamadekan diangkat menjadi penguasa Pasuruan, namun pada masa Amangkurat I Bupati Pasuruan adalah putera Kyai Dermayuda, yang dilanjutkan oleh Anggajaya, yang menurut sumber-sumber Belanda adalah orang Bali. 

Ini bisa bermakna, Ki Angrurah Wayahan Pamadekan setelah memeluk Islam dan diangkat menjadi Bupati Pasuruan menggunakan nama Ki Dermayuda, yang digantikan puteranya, Ki Dermayuda II. Anggajaya, kiranya adalah putera Ki Dermayuda II, jadi wajar jika oleh Belanda tokoh Anggajaya ini disebut orang Bali dan diangkat menjadi Bupati Pasuruan pada Mei 1680 berurutan dengan pengangkatan kakaknya, Anggawangsa, yang menjadi Bupati Surabaya bergelar Jangrana (De Graaf, 1989).

Lain halnya Menurut cerita tutur Jawa Tengah, Pada saat terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan yang dipimpin oleh Kiai Gede Kapoeloengan bergelar Kiai Gede Darmojudho I (1617-1645) Ketika naik tahta pada tahun 1613 cucu Senopati Mataram melanjutkan siasat politik ekspansi dinastinya. Para prajurit harus mempertahankan ibukota di Jawa Timur, walaupun dipertahankan sekuat tenaga tetapi masih harus kalah oleh tentara Mataram yang gagah berani.

Pada tahun 1617 Pasuruan dapat diduduki oleh pasukan Sultan Agung. Menurut cerita tutur Jawa Tengah yang mempertahankan Pasuruan adalah seorang Toemenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kepoeloengan dengan gelar Kiai Gede Darmojudho I. Bersambung. (Syafi'i/yus)