Oleh Agus Harianto
(Penggiat Literasi Kebangsaan)
Pojok Kiri
Setiap tanggal 1 Juni rakyat Indonesia memperingati hari lahir Pancasila yang dilegalkan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Ketetapan ini, diakui atau tidak, telah menimbulkan polemik di sebagian masyarakat karena kronologi lahirnya Pancasila kurang relevan. Dalam pidatonya Sukarno seringkali mengatakan bahwa ia hanya sebagai ‘penggali Pancasila,’ baik dalam pidato, termasuk pidato yang dikodifikasi, atau pun tulisannya. Sebagai penggali, ia menggali sesuatu yang ada di bumi Nusantara atau Indonesia ini. Ia seperti seorang petani yang menggali tanah sawah layaknya.
Hal ini terbukti dari implementasi lima sila dalam kehidupan bangsa Indonesia. Jika dilihat dari lima sila yang mendasari Pancasila, kita jumpai filosofi dasar (Philosofische Grondslag) dan Weltanschauung, akan kita temui lima sila yang sempat diperbincangkan di Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara kronologis, bangsa Nusantara atau Indonesia sudah mengenal lima sila di atas. Mereka melakukan praktik berketuhanan mulai dari sistem awal dan sederhana, seperti animisme-dinamisme, serta menunaikan pesan-pesan suci Dewa atau Tuhan dalam praktik ritualitas. Dalam praktik pergaulan sehari-hari mereka mengimplementasikan budaya keadaban atas dasar keadilan. Misal, sebagai sisa-sisa peninggalan agama Buddha, sebelum agama Islam masuk, ada aturan berkeadaban untuk menciptakan keadilan yang terkenal dengan ‘lima larangan’ atau ‘lima pantangan’ yaitu, dilarang: (1) mateni (membunuh), (2) maling (mencuri), (3) madon (berzinah), (4) mabok (meminum minuman keras atau menghisap candu), dan (5) main (berjudi). (Kaelan, 2014:13).
Kelima ajaran bijak ini terus dilanjutkan hingga masuknya agama Islam di Nusantara. Dilihat secara historis, ajaran keadaban ini sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat sehingga bangsa Indonesia, di mata bangsa dunia, terkenal dengan tiga hal: keakraban (friendliness), kesukaan menerima tamu/keramahan (hospitality), dan kebaikan hati (kindness). Jika ditanyakan ke wisatawan atau turis mancanegara, mereka pasti menjawab tiga hal di atas ketika diminta kesannya tentang bangsa Indonesia.
Sementara itu, sila ketiga ditunjukkan oleh pluralitas bangsa Indonesia mulai zaman dulu hingga sekarang. Bangsa yang plural bisa dimenej dengan baik sehingga menghasilkan keharmonisan, kerukunan, kebahagiaan, dan menuju persatuan bangsa. Hal ini sekaligus menepis kekhawatiran Clifford Geertz, seorang Indonesianis, akan munculnya disintegrasi bangsa yang plural jika tidak bisa dimenej dengan baik. Bangsa Indonesia terkenal dengan sifat gotong royongnya di masyarakat luas. Ini adalah ciri egalitarianisme atau perasaan kebersamaan (feeling of togetherness) yang dicirikan oleh bangsa Indonesia dalam banyak aktivitas yang dilakukan. Aktivitas ini menuju sikap persatuan untuk semua.
Sila keempat yang mencirikan sikap demokratis juga dipraktikkan bangsa Indonesia dalam banyak kesempatan. Hingga saat ini kita bisa menjumpai adanya kegiatan ‘rembug warga’ di tingkat RT/RW, Kelurahan, PKK, Majelis ta’lim, dll. Memang benar, musyawarah adalah jalan terbaik untuk mengambil keputusan publik. Inilah esensi demokrasi langsung yang terus dipraktikkan di Indonesia dan menjadi the living democracy. Di sisi lain, di tempat kelahirannya, negara Yunani, demokrasi seperti ini sudah tidak dilaksanakan lagi atau sudah mati.
Sila kelima menunjukkan tujuan kolosal setiap negara yang harus diwujudkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Dalam Konstitusi atau UU Partai Politik tujuan membentuk negara dan politik adalah mewujudkan kesejahteraan bersama. Tujuan holistik ini masih dalam proses pencapaian. Namun, hal-hal kecil sudah dilakukan oleh pemerintah dengan cara pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), pemberian bantuan dalam berbagai bentuk, dll.
Rangkaian keadilan sosial sudah dilakukan pemerintah sesuai etape yang ada. Untuk mengarah ke keadilan sosial secara menyeluruh masih dibutuhkan waktu, kepedulian, dan partisipasi semua pihak dalam mewujudkan hal itu semua. Keadilan sosial menjadi cita-cita bersama mulai negara ini terbentuk hingga berakhir. Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain di dunia pun tak mampu mewujudkan keadilan sosial secara menyeluruh hingga saat ini, sekali pun negara-negara besar dunia, seperti Amerika, Inggris, Prancis, dll., masih mencari format bernegara yang ideal untuk mewujudkan keadilan sosial.
Jadi, mencermati filosofi dasar perjalanan sejarah yang mengakar di bumi Nusantara, ternyata lima sila (Pancasila) di atas sudah dipraktikkan oleh bangsa Indonesia sejak lama. Dengan demikian, Pancasila sebagai ‘bahan tambang kearifan’ yang digali oleh Sukarno. Tepatlah jika Sukarno atau Bung Karno mengatakan dirinya sebagai penggali Pancasila karena nilai-nilai keadaban Pancasila sudah mengakar di bumi Indonesia dan mendarah-daging di lubuk hati bangsa. Melihat paparan kronologis di atas, bagi yang tidak setuju tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, memang cukup beralasan. Mereka hanya mengatakan, lahirnya istilah atau ideologi Pancasila sebagai ideologi negara.
Apa pun yang terjadi, hal yang tak bisa dikesampingkan adalah peran perumus Pancasila dalam siding BPUPKI. Meskipun ide-ide Sukarno yang menjadi perhatian utama dan diadopsi sebagai urutan Pancasila, meskipun awalnya urutannya tidak relevan. Urutan yang disampaikan oleh Sukarno dalam Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 adalah: (1) Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), (2) Internasionalisme (Perikemanusiaan), (3) Mufakat (Demokrasi), (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan). Rumusan Pancasila awal ini sangat berbeda dengan yang dijumpai saat ini.
Meskipun demikian, hasilnya bisa kita saksikan seperti saat ini. Bahkan ide-ide brilian Sukarno juga diakui oleh Ketua Sidang BPUPKI atau Dokuritzu Zyunbi Tzioosakai, Dr. K.R.T. Radjiman Widiodiningrat. Bagaimana pun juga, ide-ide Sukrano ini sempat menggemparkan dunia dan layak untuk ditiru. Kahin mengatakan ide-ide ini bisa dijadikan sintesis demokrasi oleh Demokrasi Barat, Islam Modernis, Marxis, dll. Bernhard Dahm juga mengatakan bahwa Sukarno mendasari ide-idenya dari filosofi Jawa yang sangat kental sehingga terkesan genuine. (Ibid., hal. 31).
Terlepas ide-ide Sukarno mendapat apresiasi dan aplaus yang bergemuruh di ruangan sidang, Sukarno tetap mengahragai perjuangan para pahlawan yang gigih mempertahankan negara kesatuan. Hal ini dikatakan dalam pembukaan Sidang Konstituante: “Segala pengorbanan yang diberikan oleh pahlawan-pahlawan kita di dalam revolusi, adalah jelas untuk membela ide nasional yang kita namai Republik Kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka mati untuk ide negara itu, untuk ide negara nasional, Republik Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, dan bukan untuk ide negara lain daripada itu.” (dalam Kasman Singodimedjo, dkk., (2017:71), Menuju Republik Indonesia Berdasarkan Islam).
Merujuk fakta-fakta di atas, yang perlu dilakukan adalah bukan memperdebatkan lebih lanjut seperti perbedabatan telur dan ayam. Yang terpenting dari semua itu, bagaimana upaya kita membumikan Pancasila di antara kondisi yang penuh dengan kejutan-kejutan ideologi dunia atau pun budaya pop yang berkembang di Indonesia, khususnya yang menyasar generasi milenial.
Di lembaga pendidikan, seperti sekolahan atau pun lembaga kursus dan bimbingan belajar, upaya ‘indoktrinasi’ Pancasila merupakan suatu keharusan mengingat krusialnya Pancasila sebagai way of life atau the living ideology. Dengan begitu, Pancasila akan menjiwai bangsa Indonesia dengan perilaku berbasis proses differensiasi, yang mensyaratkan adanya keunikan dan superioritas, yang menjadi ciri khas pembeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Misalnya, dalam kepengurusan kartu pencari kerja, perpanjangan KTP, penerima bantuan, dll. harus disyaratkan telah uji Pancasila, Wawasan Kebangsaan, dll. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti di Kelurahan melakukan tes uji kompetensi wawasan nusantara, Pancasila, visi kebangsaan, dll. Di sekolah-sekolah siswa secara periodik memperoleh materi wawasan kebangsaan, baik secara mandiri di jam khusus, terintegrasi atau terinsersi dengan mata pelajaran lain, khususnya mata pelajaran PKn dan IPS.
Langkah-langah yang dilakukan semua itu merupakan satu bentuk ‘pribumiisasi’ atau membumikan Pancasila dalam skup yang lebih luas. Mengingat sebagian besar masyarakat kita berada dalam kondisi ‘floating mass’ (massa mengambang) dan bagi mereka, Pancasila menjadi the floating ideology, perlulah melakukan terobosan-terobosan maksimal berbasis, meminjam istilah Rhenald Kassali (2017), disruptive innovation, yang merupakan merupakan kelanjutan dari innovative destruction atau deconstruction. Dengan kata lain, melakukan sesuatu yang tidak banyak dilakukan oleh orang lain untuk hasil yang lebih maksimal atau extraordinary.
Semoga upaya membumikan Pancasila menjadi langkah penting untuk mendapat konsiderasi faktual. Butuh kepedulian dari semua pihak untuk mengajarkan nilai-nilai Pancasila agar tercipta etika bernegara yang baik dan arif sesuai pesan kolosal bapak-bapak pendiri bangsa. Kalau bukan kita yang peduli, lantas siapa lagi? SEMOGA KITA BISA(yus/Agus)