Surabaya,Pojok Kiri
Gonjang-ganjing kelangkaan minyak goreng yang berujung pada pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng CPO (crude palm oil) dan minyak goreng oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk waktu yang akan ditinjau kemudian mendapat perhatian khusus dari Lembaga Kajian Kemandirian Pangan (LKKP).
Dalam siaran pers LKKP yang diterima media ini, Selasa (26/4/2022) menurut pendapat Direktur Eksekutif LKPP Heri Purwanto hal ini mengulang kebijakan stop ekspor batu bara yang kompleksitas masalahnya lebih rendah dibandingkan CPO, sehingga exit strateginya juga lebih mudah.
“Oleh karena itu, marilah kita dalami dan tinjau beberapa hal supaya kita tidak lepas dari konteks permasalahan perdagangan minyak goreng serta CPO,” pinta Heri, panggilan karibnya.
Semua komplikasi ini kata Heri diawali dengan naiknya harga minyak goreng pada bulan Oktober 2021 yang memantik penetapan kebijakan HET (Harga Eceran Tertinggi) pada Februari 2022 minyak goreng curah dan kemasan. Kemudian sambung Heri disusul hilangnya minyak goreng kemasan dari toko dan pasar tradisional setelah penetapan HET.
“Setelah pencabutan HET yang tidak berjalan efektif, minyak goreng muncul lagi di pasaran dengan ganti harga baru yang memberatkan konsumen. Kenaikan harga minyak goreng ini sangat jelas dipengaruhi oleh kenakan harga CPO di pasar dunia,” ujarnya.
Heri menambahkan bila pada bulan Desember 2020 masih pada USD 870/MT (metrik ton), pada Januari 2021 tembus USD 951/MT. Trend harga naik ini lanjut Heri makin kentara memasuki semester kedua 2021 yang sudah diatas USD 1000/MT dan terus menembus USD 1185/MT pada September, lantas kisaran USD 1200/MT pada November 2021 dan bertengger pada USD 1366/MT pada tutup tahun 2021.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada lini pertama terang Heri punya kebijakan menjamin pemenuhan kebutuhan minyak goreng untuk pasar domestik dengan kewajiban DMO (Domestic Market Obligation) dari para produsen CPO/minyak goreng yang mana DMO dipatok sebesar 20% dari produksi total CPO.
Merujuk pada data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) tahun 202, Heri memaparkan produksi total CPO sebesar 46,3 juta ton dengan besaran DMO 9,26 juta ton, sementara konsumsi CPO untuk bahan pangan setara 8,95 juta ton.
“Jelas sekali ada kelebihan disini dan surplusnya boleh untuk penggunaan lain diantaranya untuk ekspor. Sementara tahun 2022 produksi CPO diprediksi tembus angka 49 juta ton dengan DMO sebesar 9,8 juta ton yang pasti akan dapat menutupi kebutuhan CPO untuk pangan merujuk pada data GAPKI tahun 2021,” bebernya.
Heri mengatakan bila kelangkaan produk minyak goreng dituduh menjadi pemicu kenaikan harga pada tahun 2021-2022 dengan melihat data tersebut diatas, basis argumentasinya menurutnya tidak ada, sehingga wajib ditolak kebutuhan CPO untuk bio disel, dikecualikan dari analisa.
“Karena meski dibeli untuk kebutuhan domestik, namu mengacu kepada harga internasional sebagaimana dikemukakan oleh Dirut Pertamina dalam suatu kesempatan,” tandasnya.
Lini kedua kebijakan Kemendag urai Heri dalam menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng tidak diimbangi dengan pengawasan dan pengendalian, sebab tidak berjalan atau tidak efektif.
“Karena gejolak harga dimulai pada Oktober 2021 dan Menteri atau aparatnya tidak dapat mengendalikan gejolak pasokan dan harga selama enam bulan,” sentilnya.
Hal tersebut menurut Heri yang akhirnya mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil kebijakan stop ekspor CPO.
Presiden lanjut Heri dipaksa oleh keadaan untuk menembakkan peluru kendali antar benua, karena CPO yang diekspor digunakan oleh banyak negara mulai dari Asia, Afrika dan Eropa).
“Alih-alih menembakkan meriam bila soalnya adalah DMO untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan domestik (minyak goreng),” sesalnya.
Dengan keprihatinan yang mendalam, LKKP tegas Heri menyampaikan usulan yang kiranya mendapatkan perhatian dari Presiden Jokowi yakni sebagai berikut ini:
1. Bahwa persoalan DMO sawit untuk bahan pangan rakyat dalam esensinya adalah mandat dari UU Pangan No. 18/2012. Dengan demikian lembaga yang terlegitimasi untuk menangani hal ini adalah Bapanas (Badan Pangan Nasional). Oleh karena itu kami mendorong agar Bapanas tidak terlalu disibukkan dengan urusan membentuk struktur organisasi Bapanas, tapi tercecer dalam pemetaan dan perumusan peta jalan bagi kemanan pangan rakyat. Banyak pakar dan akademisi yang dapat dilibatkan dalam kerja pemikiran ini, bila menunggu terbentuknya struktur baru bekerja, Bapanas akan banyak kehilangan kesempatan. Banyak kebijakan bahan pangan yang memerlukan kerja pemikiran serupa, paling kurang untuk komoditas beras, gula, kedelai, jagung, garam dan daging sapi. Keberadaan Bulog yang berada dalam koordinasi penuh dengan Bapanas harus direvitalisasi sebagaimana Bulog di jaman pemerintahan Soeharto, tetapi tentu minus penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)-nya. Bulog sebagai penyangga harga bagi produk bahan pangan tertentu yang bergerak membeli produk petani bilamana harga panen jatuh. Sementara itu, Bulog menjalankan operasi pasar dan dewa penolong bagi masyarakat konsumen, bila pasok minus dan atau harga pangan melewati ambang batas yang ditentukan oleh Pemerintah. Bapanas yang menentukan harga minimal dan maksimal produk pangan tersebut.
2. Kami menolak trade-off keamanan dan efektifitas DMO sawit untuk kebutuhan pangan rakyat dengan kebijakan presiden stop ekspor CPO. Kami mendukung senjata internasional ini untuk meraih insentif dalam perdagangan internasional, misalnya menempatkan Rupiah sebagai alat tukar resmi dalam perdagangan ekspor CPO dari negeri kita. Malaysia ikut menetapkan harga sawit/CPO dengan RM (Ringgit Malaysia) sebagai alat tukar melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD) yang dirintis sejak tahun 1980. Sebagai penghasil terbesar kelapa sawit, pantas kiranya Indonesia mendapatkan insentif ini. Namun demikian, kami mendorong Presiden Jokowi segera merumuskan political exit strategy atas situasi yang rumit ini dengan mempertimbangkan kepentingan banyak pihak, khususnya pemandangan sosiologis masyarakat petani sawit di Sumatera dan petani sawit di berbagai penjuru tanah air lainnya yang pada saat ini menikmati insentif harga internasional.
3. Ketidakmampuan Menteri Perdagangan menangani permasalahan ini (sudah diakui dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI) dan pejabat eselon satunya terlibat dalam skandal ekspor CPO/minyak goreng ilegal, haruslah ditebus dengan penggantian karena yang bersangkutan tidak mempunyai inisiatif untuk mengundurkan diri. Langkah cepat Presiden Jokowi ditunggu supaya tidak menimbulkan berbagai spekulasi. Pembantu Presiden yang merepotkan Presidennya tidak pantas dipertahankan.
4. Kami minta Pemerintah bersama DPR RI mengevaluasi kembali UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dimana letak tidak efektifnya UU ini untuk dijalankan. Misalnya, dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 16, pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian pengaturan harga, pasokan dan hal lainnya yang merugikan masyarakat. Sementara untuk melakukan itu cukup dengan bersekongkol sambil makan malam dan minum anggur. Sama sekali tidak diperlukan perjanjian apapun. Apa yang mesti dijelaskan pada saat produsen dengan mereknya masing-masing satu demi satu mengerek harga minyak goreng naik, minyak goreng kemasan hilang dari pasaran secara bersamaan pada saat Pemerintah menetapkan HET dan serempak muncul kembali di pasaran begitu HET dicabut. Apakah begini perilaku usaha di pasar yang bersaing secara sempurna, apalagi yang dapat dikatakan kecuali ini semua adalah kartel dan persekongkolan jahat.
5. Terakhir namun tidak kurang pentingnya, Presiden Jokowi hendaknya memerintahkan Trisula penegak hukum kita (Polri, Kejaksaan dan KPK) dalam soal korupsi dan penyalahgunaan wewenang (Polri, Kejaksaan Agung dan KPK) membongkar semua skandal di sekitar minyak goreng dan ekspor CPO. Rakyat dari bawah yang sangat jauh melihat bahwa permainan yang menyakiti rakyat ini melibatkan banyak pihak. Apakah itu penimbunan, apakah persekongkolan menghilangkan barang dan menaikkan harga, apakah itu kemudahan pihak-pihak tertentu mendapatkan puluhan ribu ton minyak goreng, padahal mereka bukan pedagang, serta apakah itu ekspor ilegal. Spektrumnya sangat luas Bapak Presiden, jangan dilokalisir pada beberapa gelintir orang demi pemuasan publik bahwa tindakan hukum telah dilakukan. Sedikit yang nampak nampak di panggung depan, masih lebih banyak yang tidak tampil berada dibelakang panggung. Jangan selamatkan pengkianat amanat penderitaan rakyat. (Yud)