Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Negara Kalah dengan Penambang, Hingga Bupati di Kadali OPD. Ini Kasusnya!!!?



Pasuruan, Pojok Kiri
Isu ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum di lapangan, di mana pengaruh aktivitas tambang, baik legal maupun ilegal, sering memicu konflik agraria dan sosial dengan masyarakat. 

Tak hanya soal hukum, dampak tambang terhadap lingkungan hidup sangat nyata. Lubang-lubang tambang liar merusak jantungnya bumi (hutan), mencemari aliran sungai, dan merampas ruang hidup masyarakat lokal. Sementara itu, penerimaan negara dari sektor tambang terus bocor akibat manipulasi dan penyelundupan.

Fenomena premanisme tambang dan kekuasaan gelap yang mengendalikan sektor strategis seperti tambang sertu adalah bukti negara mulai kalah. Bila aparat tak segera bertindak, rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum.

Jika negara terus abai dan membiarkan praktik ilegal ini berlangsung, maka tak berlebihan jika dikatakan: negara telah dikalahkan oleh mafia tambang.

Seperti halnya yang ada di kecamatan Gempol, Jalan umum kelas II jalur Wonosari-Sumbersuko, akibat dilalui truk over dimension over loading (ODOL) yang lalu-lalang di jalur publik (jalan Umum) tersebut telah menyebabkan kerusakan pada infrastruktur jalan yang baru dibiayai dari dana negara.

Lebih parahnya Jalan umum yang semestinya digunakan untuk kepentingan rakyat, malah di pakai sebagai jalur operasional bisnis korporasi.

Tidak hanya itu, praktik ini telah berlangsung bertahun-tahun di sejumlah kabupaten penghasil sumber daya alam, seperti di kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan. Akibatnya, pemerintah daerah harus terus mengalokasikan anggaran untuk perbaikan jalan yang sebenarnya rusak akibat beban yang tidak semestinya.

Masyarakat menilai adanya ketimpangan antara kepentingan publik dan kepentingan bisnis. Hal ini terbukti dengan tidak adanya tanda rambu-rambu kelas jalan dari dinas perhubungan kabupaten Pasuruan. 

Padahal jalur itu sangat jelas, Jalan Kabupaten, bukan jalur khusus Tambang.

Tak hanya itu, jalan tersebut juga melintasi kawasan padat permukiman dan dekat dengan sejumlah sekolah, sehingga keberadaan dam truk pengangkut tambang dianggap sangat membahayakan.

Jangankan di tingkat Kabupaten, bahkan tingkat desa, mereka diam masa bodoh, meski hanya diberi kompensasi Portal. 

Parahnya lagi, warga meskipun tau Jalan umum yang baru di bangun rusak, ia juga ikut-ikutan masa bodoh, "nantik kan deso atau pemerintah yang ndandani (membetulkan) Mas, santai saja. "Ujar warga yang melintas.

Mindset warga yang salah menjadi tambah Adigung, Adiguna ( kekuasaan/kedudukan, dan kepintaran/kemampuan yang dimiliki) pelaku tambang, dan mandulnya penegak hukum dan pemerintah.

Padahal Jalan yang dibangun dengan uang rakyat harus dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Perusahaan tambang hanya bisa menumpang seenaknya dan menyisakan kerugian negara.

Hal inilah yang akhirnya menjadi dilema Kewenangan: Sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba), kewenangan perizinan tambang ditarik ke pemerintah pusat. Hal ini sering membuat Bupati atau Pemerintah Daerah merasa "macan ompong" karena tidak punya wewenang langsung untuk menindak atau menutup tambang, meski dampaknya dirasakan langsung oleh warga daerah tersebut.

Proyek jalan Rusak dari dinas PU. Bina Marga dan Bina Kontruksi terkesan di biarkan, ada dugaan oknum OPD yang memberikan laporan tidak akurat sehingga mempermudah celah bagi penambang legal atau ilegal demi keuntungan pribadi. 

Tanpa pengawasan internal yang ketat, Kepala Daerah sering kali hanya menerima laporan "di atas kertas". Jika tidak ada tindakan tegas, publik akan melihatnya sebagai bentuk pembiaran atau ketidakberdayaan negara.

Kesan ini seperti negara kalah dengan penambang, Bupati di kadali OPD.(Syafii/Yus).