Pasuruan, Pojok Kiri
-Kejadian semburan Lumpur Lapindo yang berawal pada tanggal 29 Mei 2006 berdampak luas. Kejadian tersebut membuat lebih dari 10.426 unit rumah dan 77 rumah ibadah terendam lumpur, serta memaksa puluhan ribu jiwa mengungsi. Akibatnya jalan tol Surabaya-Gempol rusak kena lumpur lapindo, juga menggenangi 19 desa di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Porong dengan luas area terdampak diperkirakan mencapai 1.143,3 hektare.
Dampaknya gangguan transportasi besar terjadi di Jawa Timur dan menghambat perekonomian daerah. Pemerintahpun segera melakukan relokasi dan pembangunan ulang jalan tol serta fasilitas infrastruktur lainnya seperti jalan arteri dan rel kereta api di sekitar area yang terkena bencana, serta memberikan kompensasi ganti rugi warga yang terdampak.
Relokasi pembangunan jalan tol dan jalur alternatif ini membutuhkan pembebasan tanah, salah satunya tanah aset desa Kejapanan yang ada di dusun Waru Rejo dan dusun Ngasem. Total keduanya mendapatkan kompensasi 1,6 milyar lebih.
13 tahun sudah dana kompensasi ini nyantol di rekening desa Kejapanan, tak bisa di gunakan.
Rendi Saputra sampai bingung. Dalam wawancara awak media dengannya, Senin (1/9/2025) di ruang kerjanya, menuturkan, bahwasannya pemerintah desa tidak bisa buat aturan desa, karena itu asetnya desa. "Perlu diketahui, meski itu asetnya desa aturannya harus yang lebih atas."ucapnya.
Menurutnya kompensasi 1,6 milyar lebih itu tafsir nilai harga tanah pada saat itu, tapi seiring waktu, bulan dan tahun harga tanah melambung tinggi terus. Apalagi sekarang kurun waktu 13 tahun, pemerintah desapun kesulitan, apalagi urusannya juga susah, harus ijin ke Gubernur, Bupati, dalam rangka aturannya, atau perdanya.
"Kan kita harus di buatkan aturannya, sebelum melangkah. Apalagi dulu kita terima dalam bentuk tunai, bukan fisik tanah. Kalau kita paksakan, tanah yang kita beli banyak berkurang luasnya seperti semula. "Tandasnya.
"Sekali lagi pemerintah desa Kejapanan butuh payung hukum dari pemerintah yang lebih atas, kalau memaksa kita dikira melakukan korupsi. Karena harga tanah tiap tahun, bahkan hitungan bulan selalu naik. Apalagi saat itu di barengi dengan banyaknya warga korban Lapindo yang mencari tanah, sehingga harga tanah yang sebelumya murah di desa Kejapanan, langsung meroket, jadi mahal. "Tambahnya.
Rendi juga mengungkapkan kalau uang kompensasi itu tidak bisa di ambil begitu saja, ada yang mengusulkan untuk pembangunan fisik desa. Tidak bisa, karena itu aset. Kalau itu dari aset yaa harus di ganti dalam bentuk aset, dan itu tidak boleh hilang. Kecuali masuk di APBDes. Yang untuk pembangunan dan pemberdayaan.
"Aset tidak boleh hilang, yang boleh itu di manfaatkan, seperti aset-aset pemerintah desa Kejapanan yang di pakai. Jadi lapangan, jadi SD negeri, jadiTK, jadi SMP yapenas, yang penting aset itu masih milik desa. (Syafii/yus).