Pasuruan, Pojok Kiri
Budaya Mataram Kuno sesungguhnya belum hilang. Meski istananya runtuh dan tinggal puing-puing, roh, prasasti dan warisannya masih hidup dalam setiap napas Nusantara. Adat, tata krama, kesenian, hingga semangat gotong royong dan persatuan bangsa, semuanya merupakan peninggalan dari kejayaan Nenek moyang kita. Di sawah, di pasar, hingga dalam upacara adat, bayangan nenek moyang kita masih tampak nyata: sebuah bangsa yang gagah, bijaksana, dan bersemangat menjaga bumi pertiwi. Mataram kono bukan sekadar kisah sejarah, melainkan jiwa yang terus menyertai kehidupan kita hingga kini.
Seperti halnya yang lakukan pemerintah desa Bulusari kecamatan Gempol kabupaten Pasuruan, Minggu 21 September 2025 telah sukses menyelenggarakan prosesi budaya, prosesi penyiraman prasasti Cunggrang di taman wisata desa Bulusari.
Dalam prosesi Siraman tersebut sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan maksud dikeluarkannya prasasti Cunggrang, ialah untuk penetapan sebuah sima bagi Pawitra (Gunung Penanggungan), serta persembahan bagi Patapan, Prasada Silunglung, dan Tirtha Pancuran. Maka dari itu, prasasti ini sebagai tempat yang harus dirawat oleh penduduk Wanua Cunggrang (Bulusari).
Bagai ratu Dyah Kebi Istri Śrī Mahārāja Rake Hino Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama Dharmottuṅgadewawijaya, kepala desa Bulusari, Hajah Siti Nurhayati melakukan peran ritual siraman. Di iringi puluhan dayang-dayang, Ibu Ratu berangkat dari pendopo suci Bulusari menuju Taman Wisata Suci desa Budaya, yang didalamnya ada duplikat Prasasti Cunggrang.
Suasana diwarnai dengan alunan lagu Jawa. Ketika mulai memasuki area taman Suci, Ibu Ratu melangkah masuk, terdapat gerbang besar berbentuk gapura yang menjadi ikon dari Destinasi Wisata Taman Suci. Memberikan kesan megah yang mengesankan. Suasana ini menciptakan rasa ketenangan dan kedamaian.
Kemudian, Ibu Ratu melanjutkan langkahnya menuju Paseban tempat prasasti Cunggrang di tancapkan tegak menghadap gunung prawitra. Tepat di sebelahnya ada kolam berbentuk bundar yang mengelilingi prasasti.
Setelah melewati susunan anak tangga yang menjadi jalan menuju puncak prasasti, Ratu Dyah Kebi / Ibu Kepala desa Bulusari Siti Nurhayati. Dayang kepercayaan di samping Ibu Ratu menyiapkan sebuah bokor (mangkok) yang terbuat dari kuningan berisi air suci yang dicampur dengan kembang setaman.
Selanjutnya Ibu Ratu melakukan siraman air suci pada prasasti Cunggrang dengan air yang berasal dari tujuh mata air suci. Tujuannya untuk membersihkan energi negatif, kesialan, atau gangguan (sukerta) agar terhindar dari malapetaka, memperoleh keselamatan, kesehatan, dan ketenteraman, serta mendapatkan keberkahan untuk desa Bulusari, dekaligus sebagai Bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan selama ini.
Usai ritual siraman air kembang tujuh rupa, prosesi Ruwat Sukerta dilanjutkan dengan pagelaran Wayang Kulit, Dalang Ki Sengguk Adiguno dengan lakon Anggodo Balik. Dalam lakon ini, Anggodo mempertimbangkan keuntungan dari kedua belah pihak, yaitu Rama yang telah memberinya pangkat namun juga membunuh ayahnya, dan Rahwana yang ingin merebut Shinta, istri Rama.
Apa yang dilakukan warga Bulusari, khususnya pemerintah desa saat ini dalam memperingati hari jadi kabupaten Pasuruan semakin melekatkan kesan bahwa peninggalan masa lalu tidak akan pernah lepas dari kehidupan masa kini. Dan kehidupan masa lalu yang tak terbayangkan sebelumnya, adalah keindahan fantasi, yang di masa sekarang harus tetap dirawat dan di lestarikan.
Perlu diketahui, Dimulai pada tahun 929 M terhitung saat Mpu Sindok mulai memerintah, telah banyak mengeluarkan prasasti, salahsatunya prasasti Cunggrang. Prasasti ini dikeluarkan tahun 851 Caka atau tahun 929 Masehi dengan menggunakan aksara jawa kuno. Yang pada akhirnya tahun 929 di tetapkan sebagai tahun lahirnya kabupaten Pasuruan. (Syafii/Yus).