Pasuruan, Pojok Kiri
Pasuruan, Jauh sebelum Majapahit berdiri, di wilayah Pasuruhan tempo doeloe sudah terstruktur bentuk pemukiman penduduk. Banyak situs terutama di wilayah Kecamatan Gempol, dan Kecamatan Pandaan. Bahkan, ada yang yang menyebut kawasan ini sebagai daerah dengan seribu situs.
Terbukti, tinggalan masa lalunya yang masih bisa dijumpai hingga kini. Diantaranya, batu Lelungguhan (batu Kursi) yang ada diareal persawahan Dusun Waru desa Sumber Rejo, kecamatan Pandaan kabupaten Pasuruan.
Lokasinya yang berada pada gundukan tanah di tengah persawahan di perbatasan antara desa Kepulungan dan Randupitu.
Ukuran gumuk tersebut hanya sekitar 4x3 meter dengan ketinggian tanah gundukan sekitar setengah meter lebih dari sawah. Di atasnya berupa semak dan pohon kendal.
Bentuknya yang menyerupai kursi, sehingga banyak orang yang mengatakan benda tersebut Kursi Lelungguhan Sang Raja.
"Ya namanya Gumuk watu lelungguhan. Watu kursi itu dipercaya warga sebagai tempat pelungguhan Raja yang melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Dulu ceritanya ada arcanya tapi sudah hilang, "ungkap kades Sumber Rejo, saat ditemui Pojok Kiri di kantornya balai desa Sumber Rejo.
Diungkapkan juga bahwasannya di wilayah desa Sumber Rejo dulunya banyak peninggalan sejarah, tapi banyak yang hilang. Era tahun 70-80 reco-reco itu banyak yang di jarah dan di buang, terutama yang ada di dusun Wunut.
"Situs-situs ini tetap harus dilestarikan, karena apapun itu sebagai bukti sejarah peradaban nenek moyang kita, apalagi batu kursi itu."terang Nur Hambali.
Dijelaskan Nur Hambali, lokasi gumuk tersebut merupakan tanah perorangan (pribadi), sehingga desa dan masyarakat tidak bisa merawat secara maksimal.
"Inginnya kita melakukan perawatan yang lebih, tapi terhalang status tanah (milik pribadi orang). Sama yang punya tanah tidak boleh di bangun, tapi kalau hanya sekedar berjiarah tidak apa- apa, "Ungkapnya.
Ada kenangan kusus Nur Hambali di batu lelungguhan, sebelum dirinya jadi kepala desa, ia pernah bermalam selama 2 hari di tempat tersebut, untuk mencari ketenangan, juga untuk menyerap energi Mahkota raja (energi kepemimpinan). Bahkan sampai sekarang terkadang pak kades mampir untuk sambang dan melakukan perawatan.
Hambali mengaku kalau sumpek kerapkali ke tempat tempat makam leluhur, selain mencari ketenangan, juga ngalap berkah. Meski itu tidak bisa dinalar.
"Saya suka ngalap berkah di makam -makam keramat, untuk mencari ketenangan. Karena menurut saya lebih bisa menenangkan diri. Dengan ketenangan kita bisa berfikir sehat. "Ucapnya.
Masih menurut Hambali, Memang terkadang yang kita jumpai ditempat-tempat tersebut tidak bisa dinalar, tidak bisa diterima akal sehat. Kalau disampaikan juga ngak kelihatan, disampaikan juga orang-orang tidak bisa memahami. Yaa dengan keyakinan masing masing."tambahnya.
Di desa sumber Rejo ada 8 dusun, dan di tiap-tiap dusun ada pundennya, ada yang terawat dan ada yang tidak terawat, terutama yang ada di dusun pandelegan. Di situ ada punden makam sesepuh.
Diwawancarai terpisah, Amenan (63) petani sekitar mengatakan, dulu selain ada batu lelungguhan, ditempat tersebut ada arca, tapi ada yang mencuri, sekitar tahun 1980.
"Enten arcone, gumuk niku. Sebelah Watu lelungguhan, sakniki mboten wonten, enten ingkang mundut. (ada arcanya, gumuk itu, di sebelah Watu kursi, sekarang sudah tidak ada, di curi orang), "kata Amenan.
Menurut Amenan , di tempat itu dulu selalu jadi central ruwahdesa dan Barikan, apalagi kalau petani awal tanam (keleman) dan saat panen, sebagai wujud syukur kepada yang maha kuasa, supaya saat bercocok tanam di jauhkan dari serangan hama, begitu juga saat panen.
"Sekarang di tempat itu sudah tidak digunakan sebagai tempat ruwahdeso, kalau dulu di tempat itu paling rame, "tuturnya.(Syafi'i/Yus).