Pasuruan, Pojok Kiri
Sepanjang Sungai Kapulungan telah banyak di temukan batuan-batuan sedimen yang mengandung unsur besi. Hal ini terbukti saat Kades Kapulungan, Didik Hartono menelusuri sungai Kapulungan mulai dari ujung Selatan perbatasan desa di dusun Gondang desa Kapulungan Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan, Senin (24/7/2023) dengan membawa alat deteksi dan Magnit.
Awalnya Alat Pendeteksi Logam Dalam Tanah yang di gunakan mengalami blank (mendadak diam dan tidak merespon) di kiranya rusak, namun saat memakai besi Sembrani justru menempel di batu, ada beberapa jenis batu sepanjang sungai Kapulungan ternyata besi Sembrani jika di dekatkan dengan batu tersebut menempel erat.
Karena penasarannya Didik Hartono dengan berbagai peninggalan megalitikum yang ada di desa Kapulungan. Sarkofagus, Watu dakon, candi dan patung batu. Hal ini meyakinkan Didik bahwa adanya peradaban manusia dan pasti tidak lepas dari keyakinan atau agama perlu adanya penelusuran.
" Saya yakin saat itu peradaban manusia di desa Kapulungan sudah maju dan punya keyakinan yaitu agama Kapitayan, suatu kepercayaan yang dipegang oleh orang-orang kuno di pulau Jawa atau jaman batu, buktinya adanya Sarkofagus, Watu dakon, dan Goa yang baru kita temukan, "Ungkap Didik.
Menurutnya Agama Kapitayan merupakan Sebuah kepercayaan yang memuja sesembahan utama yang disebut, “Sang Hyang Taya” Upaya Pencarian TUHAN Dalam Tradisi Jawa "tan kena kinaya ngapa" alias tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Untuk itu, supaya bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut “Tu” atau “To”, yang bermakna “daya gaib”, yang bersifat adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda kuno juga Melayu kuno, kata “taya” artinya kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Ini adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, Tan Kena Kinaya Ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun. Ia ada tetapi tidak ada.
“Tu” kemudian diketahui mempunyai sifat utama yaitu sifat baik dan sifat tidak baik. Yang baik bersifat terang dan yang tidak baik begitu gelap namun dalam satu kesatuan. “Tu” yang baik disebut Tuhan, dan “Tu” yang tidak baik disebut Hantu. "Kata Didik.
Dijelaskan juga, “Tu” bisa didekati ketika dia muncul di dunia dalam sesuatu yang terdapat kata-kata ‘tu’. Seperti wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-nggul, tu-ban, dan sebagainya, yang menyiratkan adanya kekuatan ghaib dari “Tu” yang bersemayam. Biasanya orang-orang memberikan sesajen. Ini jaman purba sekali.
"Watu yang ada di sungai Kapulungan ini apa "Tu" yang di maksud dalam agama kapitayan ?.. waTu bahan untuk Candi, WaTu bahan untuk Rumah, WaTu bahan segalanya, tapi watu di sungai Kapulungan Beda dan terkesan ada misterinya!!!!.."Pungkas Didik.(Syafi'i/Yus)