Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Hadapan Dewi Lakmi dan Dewi Sri, Lima Putri Cantik Dimandikan di Acara Ritual Ruwatan



Pasuruan, Pojok Kiri
Ritual tahunan Ruwatan Air atau Selamatan Air di Sumber Tetek, Minggu (23/6/2024), berlangsung meriah. Ratusan warga dari berbagai desa yang ada di lereng Gunung Penanggungan Kabupaten Pasuruan pada berdatangan berebut makanan dan ikan.

Proses ruwatan air sumber tetek diawali arak-arakan beberapa ancak dari rumah warga dusun belahan jowo dan beberapa dusun. Ancak yang diarak ini berisi makanan hasil bumi, jajanan pasar, krupuk samiler, hingga bahan-bahan pokok.

Ancak-ancak yang diarak juga dihias sehingga terlihat cantik seperti gunungan, ada juga ancak yang dilengkapi dengan umbul-umbul yang terbuat dari kerudung.


Arak-arakan itu dipusatkan di lokasi Candi patirtan Sumber tetek. Banyak pengunjung yang berdatangan, bahkan banyak warga dari luar desa Wonosunyo yang sengaja datang untuk menyaksikan acara.

Warga rela berdesak-desakan dan berebut makanan dan bahan pokok yang ada di ancak. Suasana riuh seketika pecah saat ratusan warga menyerbu ancak yang ada di luar pagar candi, meski acara ritual belum dimulai. Teriakan bercampur tawa mewarnai rebutan.

Salah satu warga yang hadir , Cak Lek mengucapkan rasa senang mengikuti acara, apalagi ikut berebut Makanan dan ikan yang mereka dapatkan, bisa dibawa pulang untuk disantap bersama keluarga.

"Wahhh!!!, Senang rasanya ikut merayakan ruawatan air, meski haru berdesakan dengan warga lain, " ujarnya.

Sumber tetek merupakan bangunan petirtaan yang sangat unik dan mempesona, karena terdapat dua patung wanita Dewi Sri serta Dewi Laksmi. Dari salah satu patung yang berdiri disitu, yaitu patung Dewi Laksmi mengalir air melalui tetek (kedua puting susu). Air yang keluar dari patung tersebut mengalir sepanjang tahun, bahkan di musim kemarau sekalipun yang selanjutnya ditampung pada sebuah kolam berukuran kurang lebih 6 x 4 meter di depan/bawah patung tersebut. Maka dari itu masyarakat setempat menyebut, candi Belahan ini dengan sebutan candi Sumber tetek.

Air yang bersumber dari tetek patung Dewi Laksmi ini sangat jernih, hingga sampai sekarang digunakan sebagai keperluan sehari-hari. Oleh masyarakat setempat. Kebutuhan air bersih ini tak hanya dinikmati penduduk Belahan Jowo, namun juga warga desa tetangga yang letaknya jauh di kaki gunung dan dikenal sebagai warga Belahan Nangka meliputi Dukuh Genengan, Jeruk Purut, Gedang, Pojok, Karang Nangka, Dieng, Kandangan serta penduduk Kunjoro perbatasan Mojokerto.

Bentuk rasa syukur kepada Allah yang memberikan berkah pada air sumber tetek, maka warga sekitar Sumber tetek mengadakan ruwatan air sumber tetek tiap tahunnya.

Ritual ini digelar setiap tahun sekali tepatnya di musim kemarau tiba, dengan harapan sumber air tetap melimpah dan terhindar dari bencana kekeringan.

Menurut Romo Putu Sutama, warga meyakini bahwa dengan ruwatan sumber mata air ini, warga berdoa supaya volume debitnya tetap lancar untuk kebutuhan masyarakat luas. Mulai dari minum, mandi, mencuci pakaian, ternak, dan mengairi sawah, bagi warga dari pegunungan hingga masyarakat luas.

"Manusia itu selalu butuh air. Dengan kita menjaga air maka sumber air akan terus melimpah kendati sedang musim kemarau, karena air itu sangat penting untuk kehidupan, " ujar Romo Putu Sutama.

Usai ancakan satu persatu berkumpul, digelar doa yang dipimpin pemangku adat di Sumber Mata Air Patirtahan Candi Belahan. Lima putri cantik-cantik berbaju putih kembang desa dimandikan dengan air yang keluar dari tetek patung dicampur bunga tujuh rupa yang di tampung di bokor (bejana). Air bercampur bunga di ciduk dengan gayung oleh pemangku adat selaku pemimpin ritual ruwatan, kemudian air disiramkan mulai dari ujung kepala hingga membasuhi seluruh tubuh. Kemudian pemangku adat mercikkan air bercampur bunga itu kepada dua patung dan sumber air yang keluar dari sela-sela candi.

Menurut HM Saleh, Kepala Desa Wonosunyo menjelaskan bahwa, ruwatan ini merupakan laku budaya Jawa yang sudah ada sejak jaman dahulu, yakni Kerajaan Majapahit. Dimana yang dimaksud ruwatan adalah ikhtiar manusia untuk memohon kepada Tuhan supaya apa yang di inginkan terkabul, dihilangkan dari kesialan hidup dan dikabulkan cita-cita atau keinginannya. Melalui sarana atau laku budaya, maka saat ini warga Wonosunyo melakukan ruwatan air di candi Belahan. Sebagai simbol rasa syukur dan penghormatan masyarakat terhadap leluhur dan alam.

"Wonosunyo ini kalau musim kemarau, ancaman kekeringan selalu kekurangan air, harapannya hanya satu di Candi Belahan sumber tetek. Maka ritual ini menjadi pengingat bagi masyarakat Wonosunyo, khususnya Belahan untuk menjaga kelestarian sumber air yang ada di sini," jelasnya.

Masyarakat berharap ritual ini dapat membawa berkah dan kelancaran air untuk kebutuhan mereka, serta terhindar dari bencana kekeringan yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan mereka.

Sementara itu, Bapak Agus warga Sidoarjo yang mengajak kedua anaknya melihat acara ruwatan mengaku baru pertama kali melihat ruwat seperti ini.

Ia menyampaikan kepada anaknya bahwa kita memiliki budaya tradisional Jawa yang seperti ini, mengajarkan bagaimana cara leluhur kita dalam menghormati alam.

"Selain mengharapkan yang baik-baik, saya juga ingin mengajarkan kepada kedua anak saya kalau orang Jawa punya tradisi seperti ini," tegasnya. (Syafi'i/yus).