Pasuruan, Pojok Kiri
Dalam sejarah Indonesia, sungai Berantas yang berada di Pulau Jawa Sisi Timur mempunyai peranan penting dalam lalulintas perdagangan.
Dalam sejarah sejarah perkembangan ekonomi dan politik di wilayah yang kemudian dikenal sebagai Jawa Timur. Pada abad ke-8
Masehi, Sungai Brantas menjadi cikal bakal berkembangnya dua desa
dari salah satu percabangannya (sekarang sebelah tenggara
Wonokromo), yaitu Desa Medang dan Desa Kuti. Desa yang lebih dikenal
kemudian adalah Medang, karena di masa sesudahnya muncul Kerajaan
Medang.
Desa Medang menurut Daldjoeni kemungkinan besar
merupakan Negara vassal dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang.
Oleh karena begitu kuatnya supremasi Palembang atas laut Jawa, maka dalam beberapa masa, para pedagang Jawa mengarahkan
perdagangannya ke Maluku.
Mereka menukarkan beras Jawa dengan rempah-rempah dari kepulauan Maluku untuk dijual ke pedagang Palembang. Ketika itu pusat pemerintahan di Jawa masih berpusat di Jawa Tengah, tetapi kegiatan perdagangan meluas hingga ke Jawa Timur,
khususnya Sungai Brantas dan Sungai Sala.
Sejalan dengan perkembangan baru, munculnya kerajaan Medang, nama Brantas disebut-sebut dalam Prasasti Dinoyo yang berangka tahun
760 M. Dalam prasasti tersebut terdapat uraian tentang tokoh yang
bernama Gajayana yang menempatkan keratonnya di sekitar mata air Sungai Brantas. Mata air Sugai Brantas disebutkan terletak di Desa Cagar Batu, Malang, daerah di lereng Gunung Arjuna-Anjasmara.
Dari lereng pegunungan itu, air mengalir ke arah selatan dan membelok ke barat karena terbentur oleh Pegunungan Kidul. Setelah melewati Kota Blitar dan Tulungagung, aliran sungai ini membelok ke utara. Setelah melewati Kota Kediri, Kertosono, aliran membelok ke timur, yakni sampai Mlirip-
Mojokerto.
Dari situ sungai bercabang dua, sebelah timur menjadi Kali Porong dan sebelah utara menjadi Kalimas. Surabaya yang sekarang menjadi ibu kota Jawa Timur, pada masa
tersebut masih merupakan teluk yang diapit oleh dua tanah ujung yang menjorok ke laut. Ujung sebelah kanan kira-kira berlokasi di sebelah
tenggara Wonokromo.
Di wilayah itu terdapat dua desa, yakni Medang dan Kuti. Ujung lain terletak di sebelah barat. Letaknya dekat dengan
pabrik Gula Ketagen di zaman Belanda. Menurut Daldjoeni di lokasi tersebut terdapat pusat beacukai bagi kapal-kapal yang akan ke luar masuk pelabuhan. Di delta Sungai Brantas ini pada masa klasik terdapat sebuah kekuasaan yang belum begitu besar yang kemungkinan besar bernama Medang. Kerajaan ini merupakan negeri vassal dari Kerajaan laut Sriwijaya yang berpusat di Palembang.
Pada masa kebesaran Sriwijaya, sekitar abad ke-7 sampai dengan ke-8, Sungai Brantas berfungsi sebagai jalur pedagangan yang
menghubungkan produksi pedalaman Jawa bagian timur dengan perdagangan luar pulau. Ini terkait dengan kebijakan perdagangan
Sriwijaya yang mengarahkan perdagangan lautnya ke Maluku.
Dari Maluku di datangkan rempah-rempah melalui pelabuhan di muara Sungai Brantas. Sementara itu dari pedalaman Jawa Timur dihasilkan beras yang diangkut melalui Sungai Brantas menuju pelabuhan. Komoditi tersebut kemudian diangkut dengan kapal-kapal yang lebih besar menuju ke Palembang.
Pada masa klasik, wilayah Brantas menjadi bagian dari jaringan dagang Asia Tenggara. Jaringan dagang Asia Tenggara terdiri dari dua
struktur, yaitu perdagangan eksternal dan perdagangan internal.
Perdagangan model pertama tercermin dalam sistem politik persungaian (riverine political system), perdagangan di hulu sungai dihubungkan dengan pusat-pusat perdagangan luar negeri di pantai melalui
perwakilan penguasa mulut sungai yang mengatur perdagangan dengan
pedalaman.
Model kedua, menunjukkan bahwa perdagangan dikendalikan oleh kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman. Kontak dengan para pedagang asing sama dengan model riverine states.
Perlu dicatat bahwa perdagangan beras di Jawa khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya membentuk sebuah pola yaitu jaringan
perdagangan sungai dan jaringan perdagangan darat (riverine and rice exchange network).
Sungai Brantas secara khusus memiliki arti penting dalam jaringan perdagangan tersebut yang menjadi penghubung antara jaringan perdagangan beras darat dan jaringan beras sungai. Pelabuhan muara Sungai Brantas yang dikembangkan oleh Kerajaan Medang tampaknya merupakan bencana bagi Kerajaan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Pengembangan pusat perdagangan yang dikendalikan dari Sriwijaya ini telah mematikan perdagangan di Jawa sendiri yang terpaksa kehilangan pelabuhan-pelabuhan penting.
Sehubungan hal ini, ekspor juga dapat dilakukan di pelabuhan-pelabuhan
lain di Jawa Timur, yaitu Pasuruan (Selat Madura), dan Banyuwangi (Selat Bali). Jika terpaksa juga menggunakan Teluk Puger di lautan Hindia.
Di wilayah pedalaman, jaringan dagang melalui Sungai Brantas
sebagai bagian dari sistem perniagaan sungai diperlihara dengan baik. Pada masa Kediri terdapat berita tentang pentingnya Sungai Brantas
sebagai jalur perniagaan. Temuan Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Rakai Sirikan Sri Bameswara yaitu Prasasti Pandelegan I tahun 1038 saka atau 1117 M membuktikan pernyataan ini.10 Prasasti tersebut berisikan tentang pemberian status swatantra serta pembebasan pajak pada
penduduk desa Pandelegan karena penduduk desa tersebut ikut memajukan perniagaan (Kabannygan) yang dapat menambah pemasukan kerajaan.
Kegiatan perniagaan ini sangat menguntungkan bagi Kerajaan Kediri pada masa itu mengingat pusat Kerajaan Kediri terletak di tepi Sungai Brantas, yang ramai menjadi lalu lintas perdagangan sebagai jalan menuju Pelabuhan Canggu maupun Hujung Galuh. Dengan demikian perniagaan yang disebutkan dalam prasasti
tersebut mungkin berkaitan dengan perniagaan di Sungai Brantas, seperti yang pernah dilakukan oleh Airlangga, penguasa pendahulunya
itu.
Di Desa Waleri, daerah Srengat Blitar ditemukan Prasasti yang
dikeluarkan oleh Raja Sri Aryeswara dengan angka tahun 1159 M. Prasasti berisi tentang pembebasan pajak berhubungan dengan aktivitas
perniagaan yang tidak jauh letaknya dari Sungai Brantas.
Tampaknya pemberian pajak tersebut sehubungan dengan kegiatan perniagaan pada
prasasti di atas merupakan suatu kelanjutan kebijaksanaan yang sudah
dilakukan oleh raja sebelumnya.
Prasasti lainnya yang juga menyebutkan perihal Sungai Brantas pada masa Kerajaan Kediri yaitu Prasasti Jaring dikeluarkan oleh Raja
Gandra tahun 1181 M yang berisi tentang pemberian hadiah pada penduduk Desa Jaring karena telah membantu menambah penghasilan
kerajaan dengan menjaga keamanan dan kelancaran penambangan orang-orang yang berdagang.
Menurut Krom yang teristimewa dalam
prasasti tersebut adalah penyebutan pejabat tinggi kerajaan yaitu Senapati Sarwajala artinya panglima angkatan laut.
Ketika di Jawa Timur tumbuh dan berkembang kerajaan besar di Nusantara, Majapahit, Sungai Brantas masih memiliki fungsi penting sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Banyak berita tentang peranan Brantas dalam transportasi dan perdagangan pada masa
Majapahit.
Sungai Brantas sebagai jalur transportasi masa Majapahit terlihatbdalam Prasasti Gunung Butak. Prasasti yang berangka tahun 1216 saka atau 1294 M ini dikeluarkan oleh Raja Kertarajasa Jayawardana menyebutkan bahwa Raden Wijaya mengalami kesukaran ketika dikejar- kejar tentara Jaya Katwang.
Ketika Raden Wijaya sampai di Kemban Cri kini berbunyi Bangsri merupakan suatu desa di selatan di Kalimas, ia dikejar-kejar oleh tentara Kediri sehingga lari ke arah utara dengan memotong Sungai Banawan dengan seluruh anak buahnya (irika ta cri
maharaja malayu manalor amegat banawan saha balanira kabeh).
Dari prasasti ini menurut pendapat bahwa "banawan yang dimaksud adalah
Sungai Brantas yang mengalir ke arah utara yaitu Kali Mas.
Cerita Brantas sebagai jalur perdagangan masa majapahit juga terlihat dalam Prasasti Trowulan. Prasasti berangka tahun 1280 saka atau 1358 M, dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk berisi tentang adanya
tempat penyeberang (tambangan) ditepi Sungai Brantas yang disebut dengan istilah nadi tira pradesa atau desa-desa dipinggir sungai.
Karena demikian pentingnya desa-desa tersebut maka dibebaskan dari pajak.
Menurut Daldjoeni (1984: 102) hal tersebut ini merupakan kompensasi atas tugas mengelola kelancaran arus perniagaan di atas Sungai Brantas.
Adapun kutipan terjemahan dari prasasti tersebut adalah sebagai berikut:
Lempeng III bagian belakang
Adapun isi pertulisan perintah raja itu, setelah diturunkan
kepada pegawai rendah, ialah supaya segala orang
disegenap mandala pulau Jawa diseberangkan, pertama-
tama Mapanji Margabaya bernama Adjar sang Rata, yang
bertempat tinggal di Canggu .
Piagam itu harus dipegang teguh oleh segenap orang
yang menambang penyeberangan disegenap mandala pulau Jawa, terutama
Lempeng V bagian depan
Nusa, Temon, Prajengan, Pakatekan, Wunglu, Rubitri,
Bnjumredu, Dtjor, Tambak, Pudjut, Mireng, Demak, Kelung,
Pegedangan, Mabuwur Godong, Rumasan, Canggu,
Rangok, Wahas Nagara, Sarba, Beringin Tidjuh, Lagada, Pamotan, Lungatan Panumbangan, Djeruk, Kembang Seri, desa-desa pinggir sungai tempat penyeberangan yaitu
berturut-turut: Medan Teda, Gesang, Bukul, dan Surabaya.
Selanjutnya piagam itu mengenai desatan, Waringin Wok, Bajrapura, Sambo, Djebreng, Bulungan, Balawi,
Luwakuwaran, Katapang, Pangaran, Kamudi, Pridjik,
Parung, Pasir Wuran, Kedal, Bangkal, Widang, Pekebonan,
Lowara, Duri Raisji Rewuh, Tegalan, Dalangara.
Lempeng V bagian belakang
Sumabang, Melo, Ngijo, Kawangan, Sudah, Klitu, Balun,
Marebo, Turan, Jipang, Ngawi, Wangkalan, Penuh, Wulung,
Barang, Pakatelan, Wateng, Ambon, Kembu, Wulaju,
Sekalian desa pinggir kali tempat penyeberangan di
seluruh mandala Pulau Jawa itu, dan ringkasan desa yang
telah ada sebelum pertulisan perintah raja dengan tanda
lencana Rajasanegara itu tetaplah seterusnya boleh
menyeberangkan orang diseluruh Mandala Pulau Jawa
pertama-tama Panji Margabaja, Ki adjaran ragi, tetap dengan ketentuan bahwa mereka semuanya mempunyai
hak swatantara, dengan tak boleh dicampuri orang lain.
Informasi lain yang juga memberitakan tentang Sungai Brantas berasal dari berita Cina yang berjudul Ying-Yai-Shenglan (lukisan
mengenai pantai lautan) yang ditulis oleh Ma-huan dari ki-shan sewaktu diperbantukan kepada Laksamana Cheng-Ho sebagai juru bahasa untuk
menyelidiki negara-negara asing tahun 1413 M sebagai utusan Kaisar Ming.
Berita Cina tersebut menyebutkan bahwa Chaowa (Jawa) pada jaman Majapahit mempunyai empat kota besar yaitu Tu-pan (Tuban),
Ssu-tsun-Ko-erh-hsi (Gresik), Su-lu-mai-jang yang juga disebut Su-erh-
pa-ya (Surabaya) dan Man-Chih_pa-i (Majapahit, kemudian juga menyebutkan bahwa kota Surabaya mempunyai pelabuhan yang airnya tawar dan agak sempit ukurannya sehingga hanya dapat dilalui oleh perahu kecil dan dengan berlayar lagi sampai jarak 80 ii (?) orang datang ditempat dagang Chang-hu (Canggu).
Kota Surabaya yang dikatakan mempunyai pelabuhan air tawar, tidak lain merupakan muara Kali Mas cabang dari Sungai Brantas. Pada waktu itu merupakan jalur lalu lintas menuju pelabuhan Canggu. Letak Canggu diperkirakan terletak di Desa Canggu sekarang di daerah Mojokerto, yang pada abad itu masih dekat letaknya dengan pantai atau muara sungai.
Berdasarkan uraian itu dapat disimpulkan bahwa pada masa
Mapapahit, sungai Brantas telah berperan penting sebagai sarana transportasi. Sebagai sarana transportasi memungkinkan jalinan dagang
dari pedalaman menuju pelabuhan berjalan dengan lancar.
Peran ini sebagai kelanjutan dari masa-masa sebelumnya.
Zaman ketika kerajaan Majapahit runtuh dan memasuki perkembangan kekuasaan Islam di Jawa, peranan sungai Brantas sebagai jalur transportasi dan perdagangan tidak hancur.
Hal itu dapat disimpulkan dari uraian De Graaf yang menyebutkan keberadaan Jawa Timur abad ke-17 ketika Mataram hendak menyerang Surabaya. Wilayah ini secara ekonomi dan budaya dikatakan lebih maju dibandingkan
dengan Mataram yang berada di pedalaman. Jawa Timur memiliki kota-kota pelabuhan yang makmur. Peradabannya berkembang dengan adanya perdagangan laut dan pergaulan dengan orang-orang asing.
Surabaya yang berada di bawah kepemimpinan Jayalengkara yang merupakan raja merdeka terakhir berjuang dengan gigih melawan
ekspansi Mataram di wilayahnya. Penguasa Surabaya itu merupakan
kelanjutan raja-raja Jenggala yang hidup dan berkembang dengan memanfaatkan sungai Brantas. (Syafi'i/yus)