Header Ads Widget

Hosting Unlimited Indonesia

Ticker

6/recent/ticker-posts

Biang Banjir Desa Gempol, Butuh Penegasan Pemprov Jatim



Pasuruan, Pojok Kiri
Penyempitan kawasan daerah aliran sungai (DAS) menjadi perhatian pemerintah desa saat terjadi bencana banjir yang terjadi di tiga dusun, desa Gempol Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan, pekan lalu. Pasalnya, dengan menyempitnya DAS mengakibatkan tekanan aliran sungai menjadi berkurang.

Memang, terkait sampah itu l tidak bisa menilai, kalau yang membuang sampah itu orang sini atau bagaimana, karena sampah itu bisa dari hulu yang terbawa air, istilahnya terkadang memang sampah itu neko atau Katutan (datang atau terbawa arus air). Dampaknya beberapa dusun di wilayah desa Gempol tergenang air berhari-hari.
Tapi persoalan sepanjang bantaran sungai ini, terkadang memang menyadarkan orang-orang, untuk bisa mempunyai rasa memiliki sungai itu sulit 

" Terkadang orang-orang itu sering kita jumpai apalagi yang punya rumah dibelakangnya itu sungai, kalau buang sampah itu langsung,byok ke sungai. Tapi memang di atas, atau di hulu juga belum tentu. Memang kalau bisa warga sekitar sini sendiri gak tambah nyumpeti. Kita memang sering menghimbau warga desa Sini (Gempol) karena jadi titik pantauan, Jona merah, sering tergenang. "Ujar Kades Gempol.
Menyikapi hal tersebut, Memang serba salah, mereka juga kena iuran sampah, tapi bagaimana caranya sampah itu tidak terlalu mbeludak (penuh), tidak terjadi pendangkalan, tidak terjadi penyumbatan.

Kades Gempol, Dan Eko dari dinas Pengairan Kabupaten Pasuruan mengajak Jurnalis Pojok Kiri melihat langsung proses Pengambilan Enceng gondok, dan bangunan permanen di kawasan dusun Wonoayu - Patuk desa Gempol. Bahkan, terdapat Jembatan penghubung yang berada di bibir aliran Sungai, di duga tidak sesuai spesifikasi. 

Banyak bangunan permanen di bantaran sungai tersebut. Hingga, mengakibatkan penyempitan sungai yang bermuara Kesungai Wrati. Lebih ironis lagi, bangunan permanen tersebut menjorok ke sungai. Awalnya dulu kayak apa, kok ngak ada penegasan sehingga sungai ini seperti Corong. Di atas lebar air mengalir normal, di sini malah kesendat, banyak bangunan liar menjorok kesungai, bahkan di cor. 

"Dulu, sungai ini lebar sekali. Namun, seiring perkembangan jaman justru menyempit, dari tidak permanen menjadi permanen, tampak sekarang berdiri rumah, toko, bengkel, Usaha Germen, maupun bangunan permanen lain, "Ujar Kepala desa Gempol Achmad Dwi Setiyono, didampingi Eko dari dinas Pengairan kabupaten Pasuruan, saat berbincang dengan wartawan Pojok Kiri, rabo, (2/1/2025).

Apakah mereka tidak tau kalau itu tanah irigasi, tanah negara, atau oknum pejabat saat itu yang mengingatkan atau bahkan ngasik peluang. Bangunan kalau sudah permanen sangat membahayakan. 

"Justru ini yang membuat saya heran, kok bisa ya. Padahal jelas jelas ini tanahnya pengairan propinsi, tanah negara. Bahkan terkesan ada pembiyaran, untuk teguran pun juga gak ada, ada apa dengan pemerintah yang dulu atau pemerintah propinsi, "tandas Eko.

Jika hujan lebat melanda, dibet air tidak bisa masuk ke sungai anak Wrati, alhasil rumah warga di kawasan perumahan Gempol citra asri, tanjung dan Wonoayu tergenang air. 

Apalagi di sini , airnya tak bergerak, kesendat Enceng kondok, akibatnya cepat terjadi sedimentasi (pengendapan). air tidak bisa mendorong sedimentasi. 

Lebih parahnya lagi biang kerok banjir, Enceng gondok sepanjang 500 meter lebih yang menggumpal tersendat jembatan. Akibatnya desa Gempol kena musibah. Beginilah kalau tidak ada warga yang tanggap, mereka menunggu peran pemerintah, menunggu ada kerja bakti dari desa.

Entah mengapa, Ada orang-orang yang lagi melakukan pembersihan sampah Enceng gondok, warga di bantaran sungai tersebut tidak ada yang empati , air putih saja tidak keluar. Padahal di sudut tiluan sungai ada pabrik pemotongan ayam.

"Di sudut ini pabrik pemotongan ayam, ada warga melakukan kerja bakti di depan pabrik, minum air putih satu gelas saja ngak keluar, padahal Parik ini air dan limbahnya juga di buang di sini, "ucap Dwi.

Kades Gempol berkeyakinan bahwa kawasan penyempitan bantaran sungai dan jembatan yang tidak sesuai spesifikasi menjadi penyebab terjadinya banjir di wilayah desa Gempol. Dia juga yakin, kalau jembatan dan bangunan liar ini harus di bongkar, itu solusinya.

"Setelah kami lakukan pengkajian, ternyata salah satu penyebabnya karena jembatan diatas saluran air itu posisinya sejajar bahkan ada yang lebih rendah dari permukaan bidang jalan, hal ini yang memicu luapan air saat debit air di saluran meningkat, "ujar Dwi.

Dikatakannya, permasalahan banjir akibat meluapnya air dari saluran air (Drainase) tidak hanya mengganggu kenyamanan para pengguna jalan, namun juga merepotkan aktivitas warga lantaran air kerap mengalir dan masuk ke permukiman warga.

“Mangkanya saya bersama warga melakukan pengentasan tumbuhan air itu, dan untuk masalah jembatan, akan saya lakukan teguran keras, bahkan harus di bongkar, karena menyusahkan banyak orang. "Ujar Dwi.

Tak hanya itu Dwi juga menghimbau agar warga lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan dan meminta kepada warga yang memiliki jembatan diatas saluran air agar memperhatikan posisi ketinggian jembatan jangan sampai posisi jembatan lebih rendah dari permukaan jalan karena itu akan memicu penyempitan rongga untuk aliran air dan memicu luapan air,” imbuhnya.

Eko dari dinas Pengairan Kabupaten Pasuruan juga menegaskan bahwa ini adalah Sungai anak werati, kewenangan propinsi Jawa Timur, kanan kiri sepadan sungainya lebar 5-6 meter. Tapi kenyataannya sepadan sungai dijadikan tempat bisnis, bahkan jadi rumah tinggal. 

Eko menduga tidak ada ketegasan di awal seperti di sebelah timur, sebagian dusun patuk dan dusun tempel, desa Legok, sepadan sungainya ada, sehingga disaat proses normalisasi (pendangkalan) atau mengambil sampah yang ada di sungai, ada tempat untuk mengangkat, dan kendaraan bisa masuk. 

"Kalau kayak begini, susah, prosesnya juga lama. "Ucapnya.

Ia mempertanyakan bagaimana kawasan tersebut bisa muncul sertifikat yang dikeluarkan Negara dalam hal ini BPN. Padahal, sesuai aturan hukum harusnya kawasan bantaran bebas dari hunian masyarakat. Pasti ada permainan dari pejabat lama, bahkan sampai ada yang mengatakan punya surat sertifikat. 

Eko menambahkan bahwa hal ini harusnya menjadi perhatian serius khususnya bagi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur. Mengingat, kawasan aliran sungai menjadi tanggung jawab mereka.

"Ini jelas tanah sepadan sungai, kalau ada yang mengatakan punya surat kepemilikan atau sertifikat, bisa di batalkan, kembali lagi butuh ketegasan dari yang punya kewenangan terkait sungai ini, yaitu PUPR Jawa Timur,Termasuk juga BPN, kok bisa mengeluarkan sertifikat atas nama di kawasan bantaran ini, "tandasnya. 

Tampak jelas di sana sebelah selatan masuk tanah stren, tanah bantaran, tanah sepadan, dan yang sini ikut bahu jalannya propinsi Jawa Timur, jalan propinsi atau nasional, jelas sebelahnya adalah tanah stren. Sama-sama kewenangan propinsi, harusnya gampang. Kalau ada yang mengatakan punya sertifikat, bisa di batalkan dengan melakukan kajian ulang, karena menurut Eko, "di kretek desa itu ada, di prona itu ada. Bisa di lihat jalan habis, tempat parkir ngak ada,"tuturnya.(Syafi'i/Yus).